BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemiskinan bukanlah fenomena yang baru di dalam kehidupan sosial. Ia merupakan
fenomena sosial yang selalu menjadi atribut negara-negara dunia ketiga.
Fenomena ini juga merupakan kebalikan dari kondisi yang dialami oleh
negara-negara maju yang memiliki atribut sebagai negara modern. Jika diamati,
seolah-olah kemiskinan identik dan selalu melekat di dalam struktur
negara-negara dunia ketiga dan menjadi problem yang cukup serius untuk
mendapatkan penanganan dari para penyelenggara negara. Dan walau telah banyak
upaya yang dilakukan oleh para penyelenggara negara untuk mengentaskan
masyarakat dari belenggu kemiskinan akan tetapi, persoalan tentang kemiskinan
bagaikan mengurai benang kusut yang sulit dicari penyelesaiannya.
Dari paparan di atas terlihat jelas bahwa masalah kemiskinan yang membelenggu
sebagian besar masyarakat dari period eke periode tetap menjadi “pekerjaan
rumah” bagi pembuat keputusan setiap penyelenggara negara terutama
negara-negara kawasan Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Dan walau telah banyak
kajian tentang gejala kemiskinan dari berbagai sudut pandang akan tetapi,
pembahasan ini seolah-olah menegaskan bahwa kemiskinan bagian dari kodrat Tuhan
yang tidak dapat diselesaikan.
Demikian juga, bangsa Indonesia kemiskinan sudah sejak lama menjadi
problematika dalam pembangunan, dan sampai saat ini masih belum menunjukkan
tanda-tanda menghilang. Angka statistic terus saja memberikan informasi masih
banyaknya jumlah penduduk miskin, yaitu sekitar 18% atau lebih kurang 30 juta
jiwa berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah ini tentu saja bersifat dinamis,
dalam arti masih sangat mungkin akan ada isu-isu dari pembuat kebijakan public
di mana kemiskinan telah berhasil ditangani, namun di pihak lain juga tidak
menolak kemungkinan terjadi peningkatan dimana hal ini sangat tergantung pada
kondisi perekonomian nasional yang masih belum stabil.
Kemiskinan seolah sudah menjadi tren bagi kehidupan bangsa. Masyarakat yang
berada di bawah garis kemiskinan dapat dengan mudah diidentifikasikan dari
waktu ke waktu. Keberhasilan program pengentasan kemiskinan yang disuarakan
pemerintah dengan angka statistik masih masih memicu pro dan kontra. Sebagian
pakar yang kontra menganggap laporan keberhasilan ini tidak lebih baik dari
upaya pengalihan dan pembentukan opini masyarakat akan citra pemerintah.
Memacu pertumbuhan ekonomi, tetapi tanpa dibarengin dengan upaya menciptakan
struktur sosial yang egaliter, hanya akan menampilkan kesenjangan sosial yang
kian melebar. Kesenjangan sosial inilah yang nantinya akan membentuk
staratifikasi sosial yaitu struktur sosial yang berlapis-lapis di dalam
masyarakat. Secara popular sering terdengar ungkapan dalam pergaulan sosial:
“yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah yang sudah
dipaparkan diatas, maka dapat ditentukan beberapa rumusan masalah, antara lain:
1. Apakah
pengertian kemiskinan serta bagaimana ciri-ciri masyarakat yang berada di bawah
garis kemiskinan?
2. Apa
sajakah sebab-sebab terjadinya kemiskinan dalam masyarakat?
3. Bagaimana
cara untuk menanggulangi kemiskinan dalam masyarakat?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang
telah dibuat, maka dapat diambil beberapa penjelasan tentang tujuan penulisan
makalah ini, antara lain:
1. Mengetahui
pengertian kemiskinan
2. Mengetahui
bagaimana ciri-ciri masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan
3. Mengetahui
sebab-sebab terjadinya kemiskinan dalam masyarakat
4. Mengetahui
cara untuk menanggulangi kemiskinan dalam masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN RUMUSAN MASALAH I
2.1 Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup
memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga
tidak mampu memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok
tersebut.[1] Kemiskinan lazimnya digambarkan
sebagai gejala kekurangan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.
Sekelompok anggota masyarakat dikatakan berada di bawah garis kemiskian jika
pendapatan kelompok anggota masyarakat ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian, dan tempat tinggal. Garis
kemiskinan, yang menentukan batas minimum pendapatan yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan pokok, dapat dipengaruhi oleh tiga hal: (1) persepsi manusia
terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan, (2) posisi manusia di dalam
lingkungan sekitar, dan (3) kebutuhan objektif manusia untuk dapat hidup secara
manusiawi.
Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan dipengaruhi oleh
tingkat pendidikan, adat-istiadat, dan sistem nilai yang dimiliki. Dalam hal
inilah maka garis kemiskinan dapat tinggi atau rendah. Berkaitan dengan posisi
manusia dalam lingkungan sosial, bukan kebutuhan pokok yang menentukan,
melainkan bagaimana posisi pendapatannya di tengah-tengah masyrakat sekitarnya.
Kebutuhan objektif manusia untuk dapat hidup secara manusiawi ditentukan oleh
komposisi pangan apakah bernilai gizi cukup dengan protein dan kalori, sesuai
dengan tingkat umur, jenis kelamin, sifat pekerjaan, keadaan iklim, dan
lingkungan alam yang dialaminya.
Pada masyarakat yang bersahaja susunan dan organisasinya, mungkin kemiskinan
bukan merupakan masalah sosial karena mereka menganggap bahwa semuanya telah
ditakdirkan sehingga tidak ada usaha-usaha untuk mengatasinya. Mereka tidak
akan terlalu memerhatikan keadaan tersebut, kecuali apabila mereka betul-betul
menderita karenanya. Faktor-faktor yang menyebabkan mereka membenci kemiskinan
adalah kesadaran bahwa mereka telah gagal untuk memperoleh lebih daripada apa
yang telah dimilikinya dan perasaan akan adanya ketidakadilan.
Pada masyarakat modern yang urmit, kemiskinan menjadi suatu masalah sosial
karena sikap yang membenci kemiskinan tadi. Seseorang bukan merasa miskin
karena kurang makan, pakaian atau perumahan, tetapi, karena harta miliknya
dianggap tidak cukup untuk memenuhi taraf kehidupan yang ada. Hal ini terlihat
di kota-kota besar Indonesia, seperti Jakarta; seseorang dianggap miskin karena
tidak memiliki radio, televise, atau mobil sehingga lama-kelamaan benda-benda
sekunder tersebut dijadikan ukuran bagi keadaan sosial-ekonomi seseorang, yaitu
apakah dia miskin atau kaya. Dengan demikian, persoalannya mungkin menjadi
lain, yaitu tidak adanya pembagian kekayaan yang merata.
Persoalan menjadi lain bagi mereka yang turut dalam arus urbanisasi, tetapi
gagal mencari pekerjaan. Bagi mereka pokok persoalan kemiskinan disebabkan
tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer sehingga timbul tuna karya,
tuna susila, dan lain sebagainya. Secara sosiologis, sebab-sebab timbulnya
masalah tersebut adalah karena salah- satu lembaga kemasyarakatan tidak
berfungsi dengan baik, yaitu lembaga kemasyarakatan di bidang ekonomi.
Kepincangan tersebut akan menjalar ke bidang-bidang lainnya, misalnya, pada
kehidupan keluarga yang tertimpa kemiskinan tersebut.
2.2 Ciri-ciri Masyarakat yang Berada di Bawah Garis
Kemiskinan
Masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tidak
memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, dan keterampilan.
b. Tidak
memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri
seperti untuk meperoleh tanah garapan atau modal usaha.
c. Tingkat
pendidikan mereka rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar karena harus
membantu orang tua mencari tambahan penghasilan.
d. Kebanyakan
tinggal di desa sebagai pekerja bebas (self employed), berusaha apa
saja.
e. Banyak
yang hidup di kota berusia muda, dan tidak mempunyai keterampilan.[2]
Kemiskinan memiliki kaitan yang erat dengan stratifikasi
sosial. Stratifikasi atau strata sosial adalah struktur sosial yang
berlapis-lapis di dalam masyarakat. Lapisan sosial menunjukkan bahwa masyarakat
memiliki strata, mulai dari yang terendah sampai yang paling tinggi. Secara
umum, strata sosial di masyarakat melahirkan kelas-kelas sosial yang terdiri
dari tiga tingkatan, yaitu atas (Upper Class), menengah (Middle Class),
dan bawah (Lower Class). Kelas atas mewakili kelompok elite di
masyarakat yang jumlahnya sangat terbatas. Kelas menengah mewakili kelompok
profesional, kelompok pekerja, wiraswastawan, pedagang, dan kelompok fungsional
lainnya. Sedangkan kelas bawah mewakili kelompok pekerja kasar, buruh harian,
buruh lepas, dan semacamnya. Masyarakat kelas bawah inilah yang umumnya
mengalami masalah kemiskinan dari tidak mampu membeli makanan pokok hingga
tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya.
BAB III
PEMBAHASAN RUMUSAN MASALAH II
3.1 Sebab
Sebab Terjadinya Kemiskinan Dalam Masyarakat
Hingga saat ini, perdebatan tentang apa yang menjadi
penyebab kemiskinan bagi seseorang atu sekelompok orang belum mencapai kata
sepakat. Hanya dari beberapa pendapat jika disimpulkan ada tiga faktor yang
menyebabkan kemiskinan. Tiga factor ini yaitu:
1. Kemiskinan
yang disebabkan Handicap Badaniyah ataupun mental
seseorang.
2. Kemiskinan
yang disebabkan bencana alam.
Faktor yang pertama merupakan
penyebab secara klasik dimana kemiskinan selalu dikaitkan dengan struktur
budaya masyarakat setempat, dimana budaya dijadikan sebagai alasan penyebab
sekelompok manusia ditempat miskin. Misalnya, mitos budaya Jawa malas dengan image masyarakat
Jawa mangan ora mangan seng penting ngumpul (makan tidak makan
yang penting kumpul), alon-alon watone kelakon (pelan-pelan
asal sampai), tuna satak batine sanak (rugi materil tidak apa
apa yang penting dapet persaudaraan), narimo ing pandu(menerima
takdir), dan sebagainya kerap dikaitkan dengan faktor penyebab mengapa
masyarakat Jawa kebanyakan miskin. Nilai-nilai falsafah ini sering dijadikan
dasar penyebab kemiskinan, sebab nilai-nilai yang terkandung didalam falsafah
ini tidak sepaham jiwa entrepreneur yang selalu berobsesi pada
nilai keuntungan yang sebesar-besarnya dan menekan biaya produksi.
Selain budaya yang dituding sebagai
biang kemiskinan, faKtor klasik lainyang dianggap penting dalam memberikan
andil bagi terciptanya kemiskinan diantaranya sifat malas, penyakit, dan cacat
fisik. Memang tidak menolak kemungkinan bahwa faktor fisik yang berupa cacat
badaniyah, penyakit, kemalasan menyebabkan seseorang tidak produktif. Alasan
ini masih dapat diterima secara rasional akan tetapi, jika persoalannya
menyangkut keadaan dimana seseorang bekerja keras di berbagai sektor usaha,
misalnya, berdagang mengalami kebangkrutan karena labilnya sistem perekonomian
dalam suatu Negara, petani gagal panen akibat terserang hama penyakit tanaman,
seseorang tetap miskin karena bekerja di instasi tertentu akibat dari rendahnya
gaji, apakah faktor badaniyah masih relevan dijadikan sebagai faktor penyebab
kemiskinan. Kenyataan ini telah menjadi bagian dari realitas sosial yang dapat
dilihat dari kehidupan sehari-hari.
Jika kemiskinan timbul karena
bencana alam dapat diterima sebagai sebuah kenyataan karena bencana alam memang
berakibat rusaknya aset berharga milik masyarakat seperti tempat tinggal, harta
benda, dan gagalnya panen. Maka tidak demikian dengan faktor badaniyah. Dalam
kasus perbedaan jumlah pendapatan dengan beratnya pekerjaan atau beban
pekerjaan. Dalam kasus ini, faktor badaniyah tidak dapat dijadikan alasan
sebagai biang kemiskinan.
Kenyataan ini (kesenjangan antara
beban kerja dan pendapatan) yang dijadikan alasan bagi penganut paham Neomarxisme di
mana kemiskinan yang terjadi di masyarakat erat kaitannya dengan faktor
struktur masyarakat ini sendiri, di mana mayoritas masyarakat mengalami
ketidakberdayaan ketika berhadapan dengan kenyataan hidup yang ada. Seorang
guru honorer, misalnya yang setiap hari berangkat mengajar di sekolah, kemudian
besaran gaji yang diterimanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya,
maka kemiskinan yang demikian ini lebih tepat dikatakan sebagai kemiskinan
buatan atau struktural.
Kemiskinan buatan atau structural,
disebabkan beberapa hal yang bersifat structural, diantaranya:
a. Struktur
ekonomi timpang, artinya struktur ekonomi yang ada di dalam masyarakat secara
tidak adil tidak memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk
mendapatkan aset ekonomi. Artinya di dalam struktur ekonomi ada sekelompok
kecil orang memiliki kesempatan mendapatkan aset ekonomi secara berlebihan,
sementara di pihak lain banyak anggota masyarakat yang hanya memiliki
kesempatan yang sangat kecil untuk mendapatkan aset ekonomi.
b. Struktur
politik yang menyangkut rendahnya political wil pemerintah
atau rendahnya kualitas kebijakan pemerintah dalam menata struktur ekonomi
Negara. Berbagai laporan ekonomi yang dikemukakan oleh pemerintah di mana
pendapatan nasional dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan hanyalah
merupakan data-data kuantitatif. Akan tetapi, kenyataan yang ada, rakyat selalu
dibayang-bayangi berbagai kebijakan ekonomi yang tidak memihak kepadanya.
c. Faktor
budaya di mana konsep pemikiran narima ing pandum (menerima
takdir apa adanya dengan sabar) sebenarnya bukan falsafah yang menjadikan
budaya kemiskinan. Konsep pemikiran ini adalah bentuk reaksi masyarakat
kenyataan dalam kondisi pesimisme, di mana dalam berbagai situasi mulai dari
masa penjajahan hingga abad millennium ini tidak kunjung berubah nasibnya.
Stagnasi nasib inilah akhirnya menimbulkan pesimisme yang besar hingga
menganggap kemiskinan adalah takdir yang seolah-olah sudah tidak mungkin
diubahnya. Dengan demikian, konsep narima ing pandum tidak lebih
hanyalah penenangan jiwa di dalam ketidakberdyaaan menghadapi kuatnya struktur
yang dianggap sudah tidak akan mampu dihadapi sekalipun dengan takdir.
BAB IV
PEMBAHASAN RUMUSAN MASALAH III
4.1 Cara
Untuk Menanggulangi Kemiskinan Dalam Masyarakat
Penanggulangan kemiskinan di Indonesia oleh pemerintah telah
dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya:
a. Pemberdayaan
masyarakat miskin
Pemberdayaan masyarakat miskin merupakan pemberian hak pada
masyarakat untuk dapat meningkatkan daya atau kemampuan sendiri. Jika kemampuan
unit sosial secara keseluruhan meningkat, maka semua anggota masyarakat akan
dapat menikmati bersama-sama. Dalam kasus ini, pemberian daya kepada lapisan
miskin secara tidak langsung juga akan meningkatkan daya si pemberi, yaitu si
penguasa (yang dalam hal ini tentunya adalah pemerintah). Upaya pemberdayaan
dapat juga melalui tiga jurusan, yaitu:
1. Menciptakan
iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah
pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Pemberdayaan adlaah upaya untuk membangun daya ini dengan
mendorong, memberikan potensi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya.
2. Memperkuat
potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering).Dalam rangka ini
diperlukan langkah-langkah yang lebih positif dan nyata, penyediaan
beberapa masukan, serta pembukaan akses ke berbagai peluang yang akan membuat
masyarakat makin berdaya dalam emmanfaatkan peluang.
3. Memberdayakan
mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah
dan semakin lemah, dan menciptakan kebersamaan serta kemitraan antara yang
sudah maju dan yang belum maju atau berkembang. Secara khusus perhatian harus
diberikan dengan keberpihakan melalui pembangunan ekonomi rakyat, yaitu ekonomi
usaha kecil termasuk koperasi, agar tidak makin tertinggal jauh, melainkan
justru memanfaatkan momentum globalisasi bagi pertumbuhannya.
b. Program
gerakan terpadu pengentasan kemiskinan
Kantor Menteri Kesra dan Taskin
mengembangkan dan mencanangkan program yang disebut Gerakan Terpadu Pengentasan
Kemiskinan (Gerdu Taskin). Gerdu Taskin meruapakan program pengentasan
kemiskinan yang terpadu dan menyeluruh yang dilakukan oleh pemerintah, kalangan
swasta, lembaga swadaya dan organisasi kemasyarakatan ( LSOM ), masyarakat luas
dan keluarga miskin itu sendiri. Keunggulan program Gerdu Taskin ini adalah
keterpaduan tujuan dan sasaran untuk menanggulangi sebab sebab terjadinya
kemiskinan, sehingga kondisi kesejahteraan penduduk target program yang lebih
baik dapat di capai. Tujuan dan sasaran ini ditindak lanjuti dengan berbagai
perangkat dan strategi, seperti kebijaksanaan, peraturan peraturan dan produk
hukum lainya , program , proyek , dan kegiatan yang mempunyai dampak langsung
terhadap oerubahan positif pada factor factor penyebab kemiskinan tersebut di
atas. Salah satu tujuan pembangunan nasional yaitu menumbuhkan dan
mengambangkan sikap dan tekad kemandirian manusia dan masyarakat Indonesia.
Atas
dasar hal tersebut, maka prinsip dasar yang diterapkan dalam Gerdu Taskin
secara nasional, meliputi:
1. Memperlakukan
keluarga/penduduk miskin sebagai subyek , dengan melibatkan keluarga sasaran
mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan penilaian.
2. Dukungan
yang diberikan diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan, memberdayakan
masyarakat dan keluarga miskin, mencegah timbulnya kemiskinan, dan melindungi
keluarga miskin sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimiliki keluarga
sasaran, serta memberikan peluang yang ada di lingkungannya.
3. Dukungan
yang diberikan secara menyeluruh dalam bentuk kebiasaan untuk memenuhi
kebutuhan pokoknya, menumbuhkan wawasan, pengetahuan, sikap, dan perilaku
ekonomi yang produktif, serta memberikan kemampuan, dan akses yang lebih besar
untuk mengembangkan usaha dan meningkatan kesejahteraannya.
4. Pengembangan
potensi keluarga/penduduk miskin dilakukan melalui pendekatan kelompok dengan
disertai pendamping mandiri yang berasal dari instansi pemerintah, kalangan
swasta, organisasi kemasyarakatan (LSOM), dan masyarakat.
Adapun tujuan khusus dari
pelaksanaan Gerde Taskin yaitu:
1. Membantu
keluarga miskin memperoleh kebutuhan pokok dengan cara yang terjangkau.
2. Menumbuhkan
dan mengembangkan wawasan, pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga sasaran
khusunya dalam bidang ekonomi yang mendukung upaya peningkatan secara mandiri.
3. Mengembangkan
kemampuan keluarga ssaran agar mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang cukup
untuk mengambangkan usaha sesuai dengan potensi yang dimiliki.
4. Meningkatkan
akses keluarga miskin, untuk mendapatkan modal, teknologi, dan memiliki usaha
yang tetap, serta akses untuk memperoleh fasilitas pembangunan dan masyarakat
lainya.
5. Menmbuhkan
dinamika sosial untuk mengatasi masalah kemiskinan secara gotong royong oleh
masyarakat.
6. Memperkuat
kondisi dan keterpaduan diantara unsure unsure yang terkait, yaitu pemeritah,
swasta, LSOM, dan masyarakat dalam uapaya pengentasan kemiskinan.
BAB V
PENUTUP
5.1. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan penulis
uraikan dalam karya tulis ini dapat disimpulakn bahwa Kemiskinan diartikan
sebagai suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya
sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu
memanfaatkan tenaga mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Kemiskinan
lazimnya digambarkan sebagai gejala kekurangan pendapatan untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang pokok. Sekelompok anggota masyarakat dikatakan berada di
bawah garis kemiskian jika pendapatan kelompok anggota masyarakat ini tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian,
dan tempat tinggal. Garis kemiskinan, yang menentukan batas minimum pendapatan yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok, dapat dipengaruhi oleh tiga hal: (1)
persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan, (2) posisi manusia
di dalam lingkungan sekitar, dan (3) kebutuhan objektif manusia untuk dapat
hidup secara manusiawi.
5.2. SARAN
Berdasarkan uraian yang diatas maka
dapat ditarik kesimpulan yaitu
Cara Untuk Menanggulangi Kemiskinan
Dalam Masyarakat
Penanggulangan kemiskinan di
Indonesia oleh pemerintah telah dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya:
1. Pemberdayaan
masyarakat miskin
Pemberdayaan masyarakat miskin
merupakan pemberian hak pada masyarakat untuk dapat meningkatkan daya atau
kemampuan sendiri. Jika kemampuan unit sosial secara keseluruhan meningkat,
maka semua anggota masyarakat akan dapat menikmati bersama-sama. Dalam kasus
ini, pemberian daya kepada lapisan miskin secara tidak langsung juga akan
meningkatkan daya si pemberi, yaitu si penguasa (yang dalam hal ini tentunya
adalah pemerintah). Upaya pemberdayaan dapat juga melalui tiga jurusan, yaitu:
a. Menciptakan
iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah
pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Pemberdayaan adlaah upaya untuk membangun daya ini dengan
mendorong, memberikan potensi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang
dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya.
b. Memperkuat
potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering).Dalam rangka ini
diperlukan langkah-langkah yang lebih positif dan nyata, penyediaan
beberapa masukan, serta pembukaan akses ke berbagai peluang yang akan membuat
masyarakat makin berdaya dalam emmanfaatkan peluang.
c. Memberdayakan
mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah
dan semakin lemah, dan menciptakan kebersamaan serta kemitraan antara yang
sudah maju dan yang belum maju atau berkembang. Secara khusus perhatian harus
diberikan dengan keberpihakan melalui pembangunan ekonomi rakyat, yaitu ekonomi
usaha kecil termasuk koperasi, agar tidak makin tertinggal jauh, melainkan
justru memanfaatkan momentum globalisasi bagi pertumbuhannya.
[1] Soerjono
Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar.
(Jakarta: Rajawali Pers, 2011). hlm. 320
[2] Dr.
R. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar teori dan Konsep Ilmu Sosial, Refika Saditama, Bandung, 1986. Hlm. 228.
an
[3] Elly
M. Setiadi&Usman Kolip, Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan
Sosial: Teori Aplikasi dan Pemecahannya),
Kencana, Jakarta, 2011. Hlm. 797.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar