AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS
MENGKAJI AGAMA SECARA SOSIOLOGIS
Sebagaimana fenomena kemasyarakatan lainnya, kegiatan-kegiatan keagamaan yang muncul di masyarakat selalu menjadi fokus perhatian tersendiri bagi kalangan sosiolog. Bahkan agama seringkali disebut sebagai salah satu struktur institusional penting yang melengkapi keseluruhan sistem sosial.
Hal ini jelas telah menempatkan agama sebagai suatu institusi sosial yang memiliki ciri khas yang berbeda dengan imstitusi-institusi sosial lainnya. Dalam artikel ini akan di paparkan tentang bagaimana kalangan sosiolog mengkaji fenomena keagamaan yang ada di masyarakat dengan menitikberatkan perhatian pada masalah definisi dan karakteristik agama secara sosiologis serta pembahasan seputar fungsi ganda agama bagi masyarakat, utamanya sebagai kekuatan yang mampu mempersatukan dan sekaligus mencerai-beraikan suatu masyarakat, yang senantiasa justru menempatkan agama sebagai faktor yang cukup berpengaruh terhadap dinamika masyarakat secara keseluruhan.
A. DEFINISI DAN KARAKTERISTIK AGAMA
Seorang sosiolog tentu saja memiliki pandangan yang berbeda bila dibandingkan dengan ilmuwan-ilmuwan sosial yang lain dalam melihat fenomena sosial keagamaan yang terjadi di masyarakat. Seorang antropolog, misalnya, akan lebih melihat fenomena keagamaan dari sisi simbol maupun ritus-ritus yang dilakukan oleh suatu komunitas tertentu, yang biasanya akakn lebih menyoroti kehidupan keagamaan masyarakat primitive. Bahkan dibandingkan kalangan teolog-pun, ada perbedaan wacana yang tegas diantara keduanya, khususnya penekanan kalangan teolog yang lebih melihat sekaligus menguji kebenaran normatif dari suatu system keyakinan, sementara kalangan sosiolog lebih menitikberatkan pada unsur pengaruh yang ditimbulkan oleh doktrin-doktrin keagamaan dalam merekonstruksi perilaku sosial yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, sebelum lebih jauh mengkaji fenomena keagamaan secara sosiologis, perlu kiranya kita memahami kembali definisi dan karakteristik agama dari sudut pandang seorang sosiolog. Hal ini mutlak diperlukan mengingat untuk melakukan kajian agama secara sosiologis, permasalahan definisi dan karakteristik agama haruslah didudukkan terlebih dahulu secara tepat untuk menghindari berbagai bentuk simplifikasi ataupun reduksi yang seringkali dilakukan oleh kalangan ilmuwan ketika mereka manganalisis berbagai fenomena keagamaan yang ada.
1. Definisi Agama
Mendefinisikan agama secara komprehensif yang mampu merangkum semua aspek nampaknya menjadi suatu permasalahan yang pelik bahkan mustahil untuk dilakukan mengingat luasnya aspek yang terkandung dalam agama itu sendiri. Elizabeth K. Nottingham, misalnya, menyatakan bahwa tidak ada definisi tentang agama yang benar-benar memuaskan karena agama dalam keanekaragamannya yang hampir tidak dapat dibayangkan itu memerlukan deskripsi (penggambaran) dan bukan definisi (batasan). Lebih jauh Nottingham menegaskan bahwa fokus utama perhatian sosiologi terhadap agama adalah bersumber pada tingkah laku manusia dalam kelompok sebagai wujud pelaksanaan agama dalam kehidupan sehari-hari dan peranan yang dimainkan oleh agama selama berabad-abad sampai sekarang dalam mengembangkan dan menghambat kelangsungan hidup kelompok-kelompok masyarakat.
Meskipun kalangan sosiolog telah mengambil batasan terhadap pengkajian masalah agama hanya pada dua hal diatas, namun hal tersebut tidaklah mudah untuk dilaksanakan mengingat terdapat beberapa permasalahan yang menyertainya. Permasalahan pertama yang dihadapi nampaknya terdapat pada pemahaman terhadap sikap-sikapnya sendiri. Bagi orang-orang yang hidup dalam masyarakat model apapun, konsepsi tentang agama merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pandangan hidup mereka dan sangat diwarnai oleh perasaan mereka yang khas terhadap segala sesuatu yang mereka anggap sakral sehingga sangatlah sukar bagi orang luar untuk melihat agama dengan kacamata ilmiah yang jujur. Permasalahan lebih jauh yang dihadapi adalah berkenaan dengan komunitas agama itu sendiri yang mungkin merasa khawatir jika penelitian yang dilakukan akan mengurangi nilai yang sangat mereka hargai. Tidak bisa dipungkiri bahwa seringkali orang-orang yang bukan pemeluk agama akan menghadapi kesulitan untuk memberi arti yang tepat terhadap gejala-gejala keagamaan yang mereka temui di lapangan, khususnya apabila berkenaan dengan simbol-simbol agama.
Oleh karena itu, masalah definisi agama mendapat perhatian tersendiri bagi kalangan ilmuan sosial, termasuk didalamnya kalangan sosiolog. Roland Robertson, misalnya, membagi definisi tentang agama yang telah dikemukakan oleh kalangan ilmuan sosial kedalam dua model definisi: yang inklusif dan yang eksklusif. Definisi inklusif memberikan suatu rumusan agama dalam arti yang seluas-luasnya, yang memandang agama sebagai setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan “kesucian” atau yang diorientasikan kepada “penderitaan manusia yang abadi”. Kalangan ilmuan sosial yang memiliki pandangan inklusif pada umumnya melihat agama bukan saja sebagai sistem-sistem teistik yang diorganisasi seputar konsep tentang kekuatan supernatural, tetapi juga berbagai sistem kepercayaan non-teistik seperti komunisme, nasionalisme, atau humanisme. Sebaliknya definisi eksklusif membatasi istilah agama itu kepada sistem-sistem kepercayaan yang mempostulatkan eksistensi makhluk, kekuasaan, atau kekuatan supernatural. Dengan demikian, sistem-sistem kepercayaan seperti komunisme, nasionalisme, atau humanisme dikeluarkan meskipun sebenarnya bisa juga diterima sebagai sistem kepercayaan non-teistik karena memiliki elemen-elemen yang sama dengan sistem-sistem keagamaan.
Kalangan sosiolog yang mengikuti model definisi yang inklusif diantaranya: Durkheim, Bellah, dan Yinger. Definisi agama yang dikemukakan oleh ketiga tokoh tersebut adalah sebagai berikut:
Suatu agama ialah suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktek-praktek yang bertalian dengan hal-hal yang suci, yaitu hal-hal yang dibolehkan dan dilarang – kepercayaan dan praktek-praktek yang mempersatukan suatu komunitas moral yang disebut Gereja, semua mereka yang terpaut satu sama lain
Agama merupakan seperangkat bentuk dan tindakan simbolik yang menghubungkan manusia dengan kondisi akhir wksistensinya
Agama dapat dirumuskan sebagai suatu sistem kepercayaan dan praktek dimana suatu kelompok manusia berjuang menghadapi masalah-masalah akhir kehidupan manusia
Definisi pertama yang dikemukakan oleh Durkheim merupakan definisi yang sudah cukup populer dan seringkali dikutip oleh kalangan sosiolog. Bagi Durkheim, salah satu karakteristik agama yang penting adalah bahwa agama itu diorientasikan kepada sesuatu yang dirumuskan oleh manusia sebagai sesuatu yang suci (sacred) yang berlawanan dengan dunia dalam kehidupan sehari-hari (profan). Adapun definisi kedua dan ketiga memberikan penekanan bahwa agama, diatas segala-galanya, diorientasikan kepada “penderitaan akhir” (ultimate concerns) umat manusia. Dalam hal ini, penderitaan akhir menurut konsepsi Yinger berarti bahwa keprihatinan yang berkaitan dengan kenyataan adanya kematian, perlunya mengatasi frustasi, penderitaan, tragedi, permusuhan dan egosentrisme serta kekuatan yangmembahayakan kehidupan kita, dan lain-lain, merupakan esensi dari agama itu sendiri.
Dari ketiga contoh definisi diatas, nampak jelas bahwa model definisi inklusif memungkinkan segala sesuatu untuk disebut sebagai agama sepanjang segala sesuatu tersebut mengidentifikasi keprihatinan yang disucikan atau berkaitan dengan pertanyaan tentang makna akhir. Hal ini disebabkan karena model definisi ini tidak memandang apakah suatu sistem kepercayaan mempostulatkan atau tidak eksistensi suatu dunia supernatural.
Adapun model definisi yang eksklusif menempatkan permasalahan dunia supernatural sebagai titik pembatas sesuatu agar bisa disebut sebagai agama. Beberapa contoh dari model definisi yang eksklusif tentang agama adalah sebagai berikut:
Agama merupakan seperangkat kepercayaan dan simbol-simbol (dan nilai-nilai yang secara langsung diperoleh dari situ) yang bertalian dengan pembedaan antara suatu realitas transenden yang empiris dengan yang superempiris; masalah-masalah empiris disub-ordinatkan artinya terhadap yang non-empiris
Agama adalah jenis perilaku yang dapat digolongkan sebagai kepercayaan dan ritual yang bersangkutan dengan makhluk, kekuasaan, dan kekauatan supernatural
Agama adalah suatu sistem kepercayaan dan praktek yang terorganisasi, yang didasarkan pada keyakinan yang tidak terbukti, yang mempostulatkan adanya makhluk-makhluk, kekuasaan, atau kekuatan supernatural yang menguasai dunia fisik dan sosial
Dari ketiga contoh definisi diatas, kita bisa melihat setidaknya ada tiga elemen pokok yang harus dipenuhi oleh suatu sistem kepercayaan dan praktek dapat disebut sebagai agama. Pertama, agama selalu meliputi seperangkat ritual atau praktek maupun seperangkat kepercayaan yang terorganisasi secara sosial dan dierlakukan oleh anggota-anggota suatu masyarakat. Kedua, kepercayaan tersebut dipandang benar hanya berdasarkan keyakinan, sehingga pada umumnya tidak terdapat keinginan untuk memvaliditaskannya dalam arti empiris. Ketiga, agama selalu mencakup konsep dunia eksistensi supernatural yang berada diatas dan dibalik dunia kehidupan sehari-hari, yang dapat diketahui, dan alamiah.
Sebagai buku yang mencoba untuk mengupas fenomena keagamaan dalam masyarakat dari sudut pandang sosiologis, maka model definisi agama secara inklusif lebih layak untuk dikedepankan, mengingat seorang sosiolog tidak memiliki kewenangan untuk menentukan apakah suatu perbuatan layak dikategorikan sebagai agama atau tidak. Disamping itu, seorang sosiolog dalam melakukan suatu penelitian keagamaan juga diharuskan mengambil jarak dengan obyek kajiannya. Artinya, masyarakat atau komunitas yang melakukan aktivitas tersebutlah yang layak melabeli aktivitasnya sebagai sesuatu yang sacred (agamis) atau profan (keduniawian). Oleh karenanya, pembatasan terhadap definisi agama, sebagaimana model definisi yang eksklusif, disatu sisi memang akan memberikan kemudahan bagi seorang sosiolog untuk lebih fokus terhadap aktivitas tertentu dari suatu masyarakat atau komunitas, akan tetapi disisi yang lain bisa jadi akan mereduksi atau mengabaikan berbagai aktivitas masyarakat yang bagi mereka sebenarnya diyakini sebagai bagian integral dari agama yang diyakini oleh masyarakat tersebut.
2. Karakteristik Agama
Disamping masalah dua model definisi agama diatas, hal lain yang dapat dijadikan pegangan oleh kalangan sosiolog dalam melakukan kategorisasi dan analisa tentang agama adalah adanya beberapa karakteristik universal yang terdapat di hampir semua agama. Tim Curry setidaknya mencatat ada lima karakteristik universal agama, yaitu:
a. Kepercayaan. Bisa dikatakan bahwa kepercayaan merupakan hal yang paling mendasar dalam setiap agama. Kepercayaan terhadap segala sesuatu dalam agama merupakan permasalahan yang berkaitan dengan disiplin ilmu teologi. Adapun konsekuensi sosial yang ditimbulkan oleh kepercayaan tersebut baru merupakan permasalahan sosiologis. Jadi, fokus perhatian kalangan sosiolog bukanlah melihat validitas atau kebenaran kepercayaan tersebut tapi lebih memfokuskan perhatian pada konsekuensi sosial yang timbul sebagai akibat dari adanya kepercayaan tersebut. Misalnya, kepercayaan akan adanya surga dan neraka menjadi salah satu faktor yang mendorong manusia untuk melakukan serangkaiain ibadah atau ritual tertentu secara komunal. Dalam hal ini, fokus kajian seorang sosiolog bukanlah untuk membuktikan keberadaan surga atau neraka, akan tetapi mencoba mengupas pengaruh keimanan terhadap surga dan neraka dalam membentuk perilaku mereka di masyarakat.
b. Sacred dan Profane. Menurut Durkheim, semua agama membedakan dunia kedalam dua domain besar: sacred dan profane. Sesuatu yang disebut sacred adalah segala sesuatu yang memiliki arti dan kualitas supernatural. Adapun yang profane adalah sesuatu yang dipandang sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari . Karena begitu luasnya cakupan definisi tersebut maka sangatlah mungkin terjadi tumpang-tindih di masyarakat tentang penggolongan sesuatu sebagai yang sacred atau profane. Bisa jadi dalam suatu masyarakat atau agama sesuatu dipandang sebagai yang sacred tapi bagi masyarakat atau agama lain dipandang sebagai sesuatu yang profane.
c. Ritual dan Seremoni. Semua agama memiliki beberapa bentuk perilaku yang rutin dilaksanakan sebagai ekspresi dan penguat iman. Oleh karenanya semua agama memilki ritual. Bagi pemeluk agama, ritual dan seremoni merupakan sesuatu yang penting berkaitan dengan masalah peribadatan. Adapun bagi kalangan sosiolog, beberapa ritual dipandang membantu mengikat orang secara bersama-sama dalam masyarakat. Pelaksanaan ritual memungkinkan munculnya solidaritas sosial meskipun terdapat banyak perbedaan diantara mereka.
d. Komunitas moral. Agama merupakan suatu organisasi yang dibentuk oleh sekelompok orang yang memiliki kesamaan kepercayaan dan nilai-nilai. Adanya kesamaan nilai yang kemudian diperkuat dengan pelembagaan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran nilai-nilai tersebut telah membentk suatu komunitas yang mampu bertahan dari generasi ke generasi berikutnya.
e. Pengalaman pribadi. Pengalaman pribadi yang diperoleh melalui agama dapat memberikan makna bagi kehidupan manusia bahkan terkadang mampu memcahkan masalah-masalah pribadi yang sedang dihadapi terutama berkaitan dengan terapi mental.
Meskipun setiap agama memiliki kelima karakteristik diatas, namun kita harus mengingat bahwa setiap agama memiliki penekanan yang berbeda-beda terhadap kelima karakteristik tersebut. Ada agama yang sangat kaya dengan ritual dan seremoni, namun ada juga agama yang hanya memberikan sedikit perhatian pada hal tersebut. Oleh karena itu, berbagai macam pendekatan telah dikembangkan oleh kalangan sosiolog untuk melihat fenomena keagaman di masyarakat dengan mendasarkan pada fokus perhatian yang ingin dikaji dari fenomena tersebut.
B. PENDEKATAN SOSIOLOGI TERHADAP AGAMA
Dalam disiplin Sosiologi Agama, ada tiga perspektif utama sosiologi yang seringkali digunakan sebagai landasan dalam melihat fenomena keagamaan di masyarakat, yaitu: perspektif fungsionalis, konflik dan interaksionisme simbolik. Masing-masing perspektif memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri bahkan bisa jadi penggunaan perspektif yang berbeda dalam melihat suatu fenomena keagamaan akan menghasilkan suatu hasil yang saling bertentangan. Pembahsan berikut ini akan memaparkan bagaimana ketiga perspektif tersebut dalam melihat fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakat.
1. Perspektif Fungsionalis
Perspektif fungsionalis memandang masyarakat sebagai suatu jaringan kelompok yang bekerjasama secara terorganisasi yang bekerja dalam suatu cara yang agak teratur menurut seperangkat peraturan dan nilai yang dianut oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang stabil dengan suatu kecenderungan untuk mempertahankan sistem kerja yang selaras dan seimbang. Melalui Talcott Parsons (1937), Kingslay Davis (1937), dan Robert K. Merton (1957) sebagai juru bicara terkemuka, perspektif ini melontarkan pandangan bahwa setiap kelompok atau lembaga melaksanakan tugas tertentu dan terus-menerus, karena hal itu dipandang fungsional.
Secara esensial, prinsip-prinsip pokok perspektif ini adalah sebagai berikut: (1) Masyarakat merupakan sistem yang kompleks yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling tergantung, dan setiap bagian-bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian lainnya. (2) Setiap bagian dari sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakat secara keseluruhan; karena itu, eksistensi dari satu bagian tertentu dari masyarakat dapat diterangkan apabila fungsinya bagi masyarakat sebagai keseluruhan dapat diidentifikasi. (3) Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan dirinya, yaitu mekanisme yang dapat merekatkannya menjadi satu; salah satu bagian penting dari mekanisme ini adalah komitmen anggota masyarakat kepada serangkaian kepercayaan dan nilai yang sama. (4) Masyarakat cenderung mengarah pada suatu keadaan ekuilibrium, dan gangguan pada salah satu bagiannya cenderung menimbulkan penyesuaian pada bagian lain agar tercapai harmoni atau stabilitas. (5) Perubahan sosial merupakan kejadian yang tidak biasa dalam masyarakat, tetapi apabila hal tersebut terjadi, maka perubahan itu pada umumnya akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.
Sebagai konsekuensi logis dari prinsip-prinsip pokok diatas, perspektif ini berpandangan bahwa segala hal yang tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Karena agama dari dulu hingga sekarang masih tetap eksis maka jelas bahwa agama mempunyai fungsi atau bahkan memainkan sejumlah fungsi di masyarakat. Oleh karenanya, perspektif fungsionalis lebih memfokuskan perhatian dalam mengamati fenomena keagamaan pada sumbangan fungsional agama yang diberikan pada sistem sosial. Melalui perspektif ini, pembicaraan tentang agama akan berkisar pada permasalahan tentang fungsi agama dalam meningkatkan kohesi masyarakat dan kontrol terhadap perilaku individu.
2. Perspektif Konflik
Tidak ada seorang sosiolog pun yang menyangkal bahwa perspektif konflik dalam kajian sosiologi bersumber pada ide-ide yang dilontarkan oleh Karl Mark seputar masalah perjuangan kelas. Berlawanan dengan perspektif fungsional yang melihat keadaan normal masyarakat sebagai suatu keseimbangan yang mantap, para penganut perspektif konflik berpandangan bahwa masyarakat berada dalam konflik yang terus-menerus diantara kelompok dan kelas, atau dengan kata lain konflik dan pertentangan dipandang sebagai determinan utama dalam pengorganisasian kehidupan sosial sehingga struktur dasar masyarakat sangat ditentukan oleh upaya-upaya yang dilakukan berbagai individu dan kelompok untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas yang akan memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka.
Salah satu pertanyaan menarik yang terlontar sebagai konsekuensi dari penempatan konflik sebagai determinan utama dalam kehidupan sosial adalah masalah kohesi sosial. Kalangan teoritisi konflik setidaknya memandang dua hal yang menjadi faktor penentu munculnya kohesi sosial ditengah-tengah konflik yang terjadi, yaitu melalui kekuasaan dan pergantian aliansi. Hanya melalui kekuasaanlah kelompok yang dominan dapat memaksakan kepentingannya pada kelompok lain sekaligus memaksa kelompok lain untuk mematuhi kehendak kelompok dominan. Kepatuhan inilah yang pada akhirnya memunculkan kohesi sosial. Adapun pergantian aliansi disini berarti berafiliasi pada beberapa kelompok untuk maksud-maksud yang berbeda. Hal ini sangat mungkin untuk dilakukan mengingat suatu isu spesifik seringkali mampu menyatukan kelompok yang sebenarnya memiliki berbagai macam perbedaan.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan, kalangan teoritisi konflik memandang agama sebagai ekspresi penderitaan, penindasan, dan rasionalisasi serta pembenaran terhadap tatanan sosial yang ada. Oleh karena itu, dalam perspektif konflik agama dilihat sebagai “kesadaran yang palsu”, karena hanya berkenaan dengan hal-hal yang sepele dan semu atau hal-hal yang tidak ada seperti sungguh-sungguh mencerminkan kepentingan ekonomi kelas sosial yang berkuasa. Dalam pandangan Marx, agama tidak hanya membenarkan ketidakadilan tetapi juga mengilustrasikan kenyataan bahwa manusia dapat menciptakan institusi-institusi sosial, dapat didominasi oleh ciptaan mereka dan pada akhirnya percaya bahwa dominasi adalah sesuatu yang sah. Jadi, dalam perspektif konflik agama lebih dilihat dalam hubungannya dengan upaya untuk melanggengkan status quo, meskipun pada tahap selanjutnya tidak sedikit kalangan yang menganut perspektif ini justru menjadikan agama sebagai basis perjuangan untuk melawan status quo sebagaimana perjuangan bangsa Amerika Latin melalui teologi liberal mereka yang populer.
3. Perspektif Interaksionisme Simbolik
Dalam wacana sosiologi kontenporer, istilah interaksionisme simbolik diperkenalkan oleh Herbert Blumer melalui tiga proposisinya yang terkenal: (a) Manusia berbuat terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi mereka; (b) Makna-makna tersebut merupakan hasil dari interaksi sosial; (c) Tindakan sosial diakibatkan oleh kesesuaian bersama dari tindakan-tindakan sosial individu.
Dengan mendasarkan pada ketiga proposisi diatas, perspektif interaksionisme simbolik melihat pentingnya agama bagi manusia karena agama mempengaruhi individu-individu dan hubungan-hubungan sosial. Pengaruh paling signifikan dari agama terhadap individu adalah berkenaan dengan perkembangan identitas sosial. Dengan menjadi anggota dari suatu agama, seseorang lebih dapat menjawab pertanyaan “siapa saya?”.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa identitas keagamaan, dan kepercayaan-kepercayaan dan nilai-nilai yang diasosiasikan dengan agama merupakan produk dari sosialisasi. Oleh karenanya, kalangan interaksionis lebih melihat agama dari sudut peran yang dimainkan agama dalam pembentukan identitas sosial dan penempatan individu dalam masyarakat.
Dari ketiga perspektif utama dalam sosiologi diatas, yang nantinya akan dibahas lebih detail dalam bab-bab selanjutnya, setidaknya kita sudah bisa melihat apa sebenarnya yang menjadi pokok kajian para sosiolog ketika mereka mengkaji permasalahan keagamaan yang terjadi di masyarakat. Luasnya cakupan dimensi agama yang ada sebagai konseskuensi dari kecenderungan para sosiolog mendefinisikan agama secara inklusif sebenarnya telah membuka kesempatan yang luas bagi berbagai perspektif yang ada dalam sosiologi untuk bisa memberikan kontribusi maksimal bagi upaya memahami perilaku-perilaku sosial masyarakat sebagai perwujudan dari pelaksanaan beragam keyakinan dan doktrin-doktrin keagamaan yang ada. Namun demikian, pembahasan sosiologis tentang berbagai fenomena keagamaan yang berkembang dimasyarakat selama ini cenderung terpusat disekitar permasalahan fungsi ganda agama bagi masyarakat, yaitu fungsi integratif dan disintegratif. Oleh karena itu, sebelum kita berupaya mengaplikasikan berbagai perspektif sosiologis untuk mengungkapkan fenomena keberagamaan yang lebih luas dan kompleks, secara sepintas kita perlu untuk melihat kembali bagaiamana para sosiolog menggambarkan fungsi ganda agama ini. Dari sini setidaknya kita akan mendapatkan gambaran bagaimana konsekuensi sosial yang muncul dari serangkaian ritual dan praktek keagamaan dilihat dari perspektif sosiologis
Sumber : http://arifinzain.wordpress.com/2008/01/31/agama-dalam-perspektif-sosiologis/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar