BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Intensitas dan
Kompleksitas Masalah
Kemiskinan ditandai oleh kurangnya akses untuk mendapatkan
barang, jasa, aset dan peluang penting yang menjadi hak setiap orang. Setiap
orang harus bebas dari rasa lapar, harus dapat hidup dalam damai, dan harus
mempunyai akses untuk mendapatkan pendidikan dasar dan jasa-jasa layanan
kesehatan primer. Keluarga-keluarga miskin butuh mempertahankan kelangsungan
hidup mereka dengan cara bekerja dan mendapatkan imbalan secara wajar serta
seharusnya mendapatkan perlindungan yang dibutuhkan terhadap
guncangan-guncangan dari luar. Sebagai tambahan, perorangan maupun masyarakat
juga miskin dan cenderung terus miskin apabila mereka tidak diberdayakan untuk
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan-keputusan yang mempengaruhi hidup
mereka.
Hakekat pembangunan merupakan upaya yang dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, menempatkan arah
pandang pembangunan sangat didasarkan pada paradigma yang mendasari para
pengambil kebijakan di suatu negara untuk diimplementasikan. Perkembangan
pembangunan di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh teori pertumbuhan
ekonomi yang memiliki resiko pada kesenjangan pembangunan baik antar daerah,
maupun antara si kaya dan si miskin. Untuk itu, dalam suatu pembangunan
maka dampak negatif baik itu berupa kemiskinan maupun pengangguran merupakan
faktor yang harus diselesaikan melalui skema pembangunan, bukan menjadi bagian
terpisah dari pembangunan itu sendiri.
Jika dilihat dari perkembangan pembangunan di Indonesia pada
awal 1970-an dan 1980-an maka fungsi ”negara pembangunan” (developmental state)
merupakan pilihan model pembangunan yang dilaksanakan pada saat itu.
Pembangunan dengan mengedepakna pertumbuhan ekonomi menjadi solusi untuk
mengatasi permasalahan sosial dan politik yang dihadapi bangsa Indonesia pada
saat itu. Dampak yang muncul dengan model tersebut semakin tinginnya disparitas
hasil pembangunan, karena asumsi adanya trickle down effect ternyata
tidak berjalan dengan sempurna. Pada pertengahan 1980-an hingga 2000-an,
ciri-ciri negara pembangunan mulai bergeser menjadi negara minimalis, peran
negara dalam ekonomi ditarik, dikurangi, atau dihapuskan. Kuatnya liberalisasi
di banyak bidang menjadikan pasar bebas dianggap sebagai mekanisme dan
kelembagaan sempurna yang dapat mengoreksi diri sendiri. Privatisasi,
deregulasi, dan liberalisasi menjadi kata-kata kunci dalam melakukan
swastanisasi sektor-sektor pelayanan publik seperti di sektor perbankan, listrik,
air, pendidikan, dan kesehatan. Akibatnya, dampak negatif dari pembangunan yang
terjadi pada model sebelumnya semakin bertambah banyak keluarga Indonesia jatuh
miskin, sekolah menjadi mahal, kesehatan sulit dijangkau, dan lapangan kerja
lebih kecil ketimbang jumlah pencari kerja.
Hal ini ditunjukan dengan masih berkutat dengan tingginya
angka kemiskinan. Permasalahan kemiskinan menjadi problem sosial yang
hingga saat ini belum dapat terpecahkan bagaikan lingkaran setan. Hasil
data BPS tahun 2006 menunjukkan angka kemiskinan di Indonesia bahkan cenderung
mengalami kenaikan setiap periode, jumlah penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan pada Maret 2006 mencapai 39,05 juta jiwa (17,75%), meningkat 3,95
juta jiwa dari angka kemiskinan pada Maret 2005 sebesar 35,1 juta
(15,97%). Dengan semakin meningkatnya angka kemiskinan maka permasalahan
sosial lainnya sebagai dampak kemiskinan juga bertambah, seperti: masalah
lapangan pekerjaan, rendahnya tingkat pendidikan, meningkatnya angka
kriminalitas, berkembangnya konflik-konflik sosial antar masyarakat, dan makin
rendahnya akses masyarakat terhadap kebutuhan hidup. Di samping angka
kemiskinan yang disampaikan oleh BPS maka dilihat dari Human
Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia
masih sangat rendah, dibandingkan dengan kualitas manusia di negara-negara lain
di dunia. Berdasarkan Human Development Report 2006 yang
menggunakan data tahun 2002, Indonesia hanya menempati urutan ke-108 dari 177
negara, hal ini berimplikasi pada produktivitas manusia yang rendah yang pada
tahun 2006 berada di peringkat ke-60 dari 61 negara pada tahun 2006 dalam World
Competitiveness Year Book.
Akan tetapi, permasalahan kemiskinan dan pengangguran
sebagai dampak pembangunan merupakan masalah bersama seluruh elemen anak bangsa
yang harus segera ditangani. Oleh karenanya, upaya untuk tidak lagi
mengandalkan sumber daya alam semata, tetapi melalui peningkatan peran manusia
dalam pembangunan menduduki fungsi vital strategis. Apalagi di era otonomi daerah
saat ini sebagian langkah tersebut berada di tangan pemerintah daerah. Peran
daerah akan semakin dominan dan strategis dalam proses pembangunan nasional.
1.2 Latar Belakang
Masalah
1.2.1 Penyebab
Kemiskinan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan, yaitu
antara lain :
1) Faktor individual adalah bahwa kemiskinan
seseorang tidak lain disebabkan oleh orang itu sendiri, misalnya saja
kemalasan dan kebodohan. Dibandingkan dengan orang Jepang atau orang Barat,
orang Indonesia dinilai lebih santai (malas) dalam bekerja. Itulah sebabnya
negara-negara barat dan Jepang jauh lebih kaya dan maju sedangkan Indonesia
tetap menjadi negara yang miskin dan tertinggal. Hal ini bisa menjadi kaca mata
analisa juga untuk melihat tetangga A yang jauh lebih miskin dibandingkan
dengan tetangga B yang sama-sama menjadi tukang tambal ban. Ternyata tetangga A
lebih miskin disbanding tetangga B karena dia bangun jam 7.00 pagi setelah itu
minum kopi dan bersantai hingga jam 9.00 baru mulai menjalankan pekerjaannya
sebagai penambal ban, lalu sudah pulang lagi ke rumah jam 20.00, sedangkan di
sisi lain tetangga B sudah mulai buka tambal bannya sejak jam 6.00 pagi dan
baru jam 22.00 dia tutup. Kalau kita kembali melihat para pedagang asongan
dalam perjalanan tiga jam di atas, sebagian dari mereka ternyata tidak bisa
digolongkan sebagai orang-orang yang malas dan kurang bekerja keras. Mereka
memiliki jam kerja yang jauh lebih panjang dari para pekerja formal, dan kalau
melihat bagaimana mereka selalu mengejar dan turun-naik dari satu bus ke bus
yang lain, mereka bukanlah termasuk orang yang bekerja dengan setengah hati.
Sehingga pertanyaannya kemudian adalah “kenapa orang yang begitu rajin dan
sungguh-sungguh dalam bekerja tetap saja menjadi orang yang miskin?” tampaknya
faktor kemalasan tidak bisa menjadi jawaban lagi di sini. Oleh sebab itu kita
harus mulai mencari faktor-faktor penyebab lainnya. Lalu kita menemukan
kobodohan; oh ternyata orang itu tidak berpendidikan sehingga ia tidak bisa
mengembangkan usahanya. Lalu kita bertanya mengapa orang itu tidak
berpendidikan? Mengapa dia tidak sekolah? Kenapa biaya sekolah begitu mahal?
Dan kenapa sekolah A seakan-akan hanya diperuntukkan bagi anak-anak dari
golongan A saja, karena anak-anak dari golongan B walau pun pintar tetap tidak
bisa masuk ke sana? Kalau kita sudah sampai pada pertanyaan-pertanyaan seperti
ini, maka kita merasa bahwa pendekatan individual ternyata sama sekali tidak
memadahi untuk menerangkan penyebab kemiskinan. Oleh karena itu pendekatan
struktural akan sangat menarik perhatian kita.
2) Faktor struktural
Penyebab kemiskinan terutama disebabkan oleh struktur
masyarakat dan negara. Jadi meliputi masalah sosial, budaya dan politik.
Seringkali struktur masyarakat kita terbentuk sebagai suatu struktur yang
menguntungkan sedikit orang tetapi merugikan banyak orang lainnya; ini adalah
suatu struktur yang tidak adil. Di Indonesia khususnya, struktur yang tidak
adil ini – atau bisa kita sebut sebagai ketidakadilan sosial – berdiri hampir
di semua lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sehingga ketidakadilan itu bagaikan
udara yang kita hirup setiap hari, mau tidak mau. Atau, bagaikan kekangan atau
perangkap yang menentukan dan membatasi jangkauan gerak-gerik dan pengelihatan
kita. Dari perspektif ini kita kemudian bisa memahami mengapa pedagang asongan
itu tidak dapat keluar dari kemiskinannya; ternyata ketidakmampuannya dalam
mengembangkan usahanya bukanlah semata-mata karena kesalahannya sendiri karena
ia bodoh dan tak berpendidikan. Tetapi jauh lebih dalam dari itu, yang
sebenarnya menyebabkan ia tidak berpendidikan dan bodoh adalah struktur
masyarakat yang tidak adil dan pemerintah yang tidak peduli. Seharusnya masalah
pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah, tidak memiliki uang bukan alas an
bagi seseorang tidak bisa menikmati pendidikan. Pemerintah seharusnya
menciptakan suatu sistem pendidikan yang memungkinkan orang yang paling miskin
pun bisa menikmati pendidikan sampai ke jenjang yang paling tinggi. Bukannya
malah melanggengkan diskriminasi yang membatasi kaum miskin untuk menikmati
pendidikan yang sangat butuhkan dan inginkan. Kembali pada pedagang asongan
tadi, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kemiskinan ternyata tidak
semata-mata disebabkan oleh faktor individual melainkan terutama sebenarnya
oleh faktor struktural. Dan faktor stuktural ini begitu besar mengambil peran
dalam penciptaan kemiskinan, karena ia meliputi semua orang yang ada di
dalamnya. Faktor ini berada di luar diri individu sehingga dalam banyak hal tidak
bisa dikendalikan oleh individu tersebut, tetapi sangat mempengaruhi individu
tersebut. Ia bagaikan sebuah ikatan yang menghambat seseorang untuk dapat
bergerak dengan bebas; ia menjadi jurang yang menghalangi seseorang untuk
melangkah mencapai tujuannya di seberang sana, ia juga menjadi batu besar yang
menutupi jalan yang sedang dilalui seseorang atau menjadi beban berat yang
harus dipikul oleh seseorang dalam melelusuri jalan-jalan yang terjal berbatu
dan licin.
3) Faktor
keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga.
4)
Faktor sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan
dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan
sekitar.
5) Faktor agensi, yang melihat kemiskinan sebagai
akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.
Sementara itu, Arif Budiman (2000: 289) membedakan
kemiskinan menjadi dua yaitu: kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan sebagai
akibat karakter budaya serta etos kerja yang rendah, dan kemiskinan struktural
yaitu akibat dari struktur yang timpang. Dalam hal ini, faktor penyebab
kemiskinan terutama kemiskinan struktural lebih banyak menjadi bahan kajian
dibandingkan faktor alamiah. Padahal jika dilihat perkembangan teknologi saat
ini, kajian terhadap faktor alamiah masih bisa dimungkinan dengan melakukan
rekayasa alam untuk menjadi wilayah yang memiliki nilai ekonomis bagi
masyarakatnya. Sementara itu, kajian terkait kemiskinan struktural oleh
Selo Sumardjan (Alfian et.al, 1980: dikemukakan bahwa kemiskinan
struktural tidak hanya terwujud dengan kekurangan pangan tetapi juga karena
kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan
komunikasi dengan dunia luar, bahkan perlindungan hukum.
Dengan banyak pengertian dan penyebab kemiskinan yang
dikemukakan oleh para ahli maka untuk mengukur kriteria seseorang dapat
dikatakan miskin atau tidak diperlukan ukuran yang tepat dan berlaku
umum. Hal ini yang menyebabkan adanya perbedaan penilaian tentang
batas-batas garis-garis kemiskinan, sehingga masalah kemiskinan menjadi sangat
normatif.
1.3 Rumusan
Masalah
– Apa faktor penyebab kemiskinan?
– Bagaimana upaya penanggulangan kemiskinan?
– Mengapa kemiskinan masih menjadi masalah
berkelanjutan di Indonesia?
– Bagaimana penanganan masalah berbasis
masyarakat (kasus kemiskinan)?
– Apa saja organisasi yang terlibat dalam
penanganan kemiskinan ?
– Bentuk kerjasama dan jaringan seperti apa
untuk menanggulangi kemiskinan?
– Bagaimana wujud optimalisasi kontribusi dalam
pelayanan sosial (kasus kemiskinan)?
1.4 Batasan
Masalah
Dari sekian ulasan masalah yang telah penulis uraikan dalam
rumusan masalah bahwa masalah kemiskinan masih menjadi masalah berkelanjutan di
Indonesia. Penulis akan membatasi masalah yang berkaitan dengan judul makalah
yaitu “Masalah Sosial Sebagai Inspirasi Perubahan (Kasus kemiskinan) dan upaya
pemecahannya”.
1.5 Tujuan
Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk melatih keterampilan,
kecermatan, ketelitian dan kerja sama kita dalam memecahkan suatu masalah
sosial yaitu kemiskinan yang berkaitan dengan ilmu sosiologi politik dan guna
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah sosiologi politik
yaitu Bapak Muhammad Burhan Amin. Selain itu, penulisan ini juga bertujuan
untuk melatih softskill kita dalam memperhatikan masalah social yang terjadi di
masyarakat. Penelitian ini juga dapat memberikan manfaat, yaitu untuk menambah
pengetahuan kita mengenai ilmu sosiologi politik khususnya tentang masalah
sosial (kasus kemiskinan), sehingga kita dapat mengetahui mengapa kemiskinan
bisa menjadi masalah sosial umumnya di Indonesia.
1.6 Metode
Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini yaitu
dengan browsing di internet dan dengan melalui metode penjelasan dari dosen
sosiologi politik.
1.7 Manfaat
Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui
dan mengkaji masalah kemiskinan di Indonesia dengan segala kompleksitasnya
dengan berbagai pendekatan.
BAB II
Penanganan Masalah Berbasis
Masyarakat
2.1
Mengembangkan sistem sosial yang responsif
- Memberdayakan Masyarakat dalam Menanggulangi Kemiskinan
Program-program penanggulangan kemiskinan masih belum
mencapai sasaran yang optimal. Hal ini berakibat banyak proyek pembangunan yang
ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat
miskin menjasi salah alamat dan tidak memecahkan masalah. Untuk itu diperlukan
pemahaman dalam penanggulangan kemiskinan yang lebih melibatkan masyarakat
miskin sebagai pelaku pembangunan. Masyarakat miskin tidak lagi hanya sebagai
obyek yang dianggap tidak mampu sehingga tidak dilibatkan dalam proses
perencanaan yang berdampak pada pelaksanaan kebijakan yang salah sasaran.
Melibatkan masyarakat tidak hanya sekedar berpartisipasi namun lebih daripada
itu. Masyarakat miskin diberdayakan dalam proses pembangunan utamanya dalam
menanggulangi kemiskinannya. Pemberdayaan pada dasarnya merupakan suatu proses
yang dijalankan dengan kesadaran dan partisipasi penuh dari para pihak untuk
meningkatkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat sebagai sumberdaya
pembangunan agar mampu mengenali permasalahan yang dihadapi dalam mengembangkan
dan menolong diri menuju keadaan yang lebih baik, mampu menggali dan
memanfaatkan sumberdaya yang tersedia untuk kepentingan diri dan kelompoknya,
serta mampu mengeksistensikan diri secara jelas dengan mendapat manfaat
darinya. Pemberdayaan adalah sebuah ”proses menjadi”, bukan ”proses instan”.
Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan yaitu penyadaran,
pengkapasitasan, dan pendayaan.
Tahap penyadaran, target sasaran yaitu masyarakat miskin
diberikan pemahaman bahwa mereka mempunyai hak untuk menjadi berada. Di samping
itu juga diberikan penyadaran bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk keluar
dari kemiskinannya. Pada tahap ini, masyarakat miskin dibuat mengerti bahwa
proses pemberdayaan itu harus berasal dari diri mereka sendiri. Diupayakan pula
agar komunitas ini mendapat cukup informasi. Melalui informasi aktual dan
akurat terjadi proses penyadaran Secara alamiah. Proses ini dapat dipercepat
dan dirasionalkan hasilnya dengan hadirnya upaya pendampingan. Tahap
Pengkapasitasan, tahap ini bertujuan untuk memampukan masyarakat miskin
sehingga mereka memiliki keterampilan untuk mengelola peluang yang akan
diberikan. Tahap ini dilakukan dengan memberikan pelatihan-pelatihan, lokakaya
dan kegiatan sejenis yang bertujuan untuk eningkatkan life skill dari
masyarakat miskin. Pada tahap ini sekaligus dikenalkan dan dibukakan akses
kepada sumberdaya kunci yang berada di luar komunitasnya sebagai jembatan
mewujudkan harapan dan eksistessi dirinya. Selain memampukan masyarakat miskin
baik secara individu maupun kelompok, proses memampukan juga menyangkut
organisasi dan sistem nilai. Pengkapasitasan organisasi melalui restrukturisasi
organiasasi pelaksana sedangkan pengkapasitasan sistem nilai terkait dengan
”aturan main” yang akan digunakan dalam mengelola peluang. Tahap Pendayaan,
pada tahap ini masyarakat miskin diberikan peluang yang disesuaikan dengan
kemampuan yang dimiliki melalui partisipasi aktif dan berkelanjutan yang
ditempuh dengan memberikan peran yang lebih besar secara bertahap sesuai dengan
kapasitas dan kapabilitasnya, diakomodasi aspirasinya serta dituntun untuk
melakukan self evaluation terhadap pilihan dan hasil
pelaksanaan atas pilihan. Konsep pemberdayaan masyarakat dapat dikembangkan
sebagai mekanisme perencanaan dan pembangunan yang bersifat bottom up yang
melibatkan peran serta masyarakat dalam berbagai kegiatan perencanaan dan
pembangunan. Dengan demikian, program penanggulangan kemiskinan disusun sesuai
dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berarti dalam penyusunan program
penanggulangan kemiskinan dilakukan penentuan prioritas berdasarkan besar
kecilnya tingkat kepentingan sehingga implementasi program akan terlaksana secara
efektif dan efisien. Melalui pemberdayaan, masyarakat akan mampu menilai
lingkungan sosial ekonominya serta mampu mengidentifikasi bidang-bidang yang
perlu dilakukan perbaikan. Tahapan selanjutnya dari pemberdayaan adalah
mewujudkan masyarakat yang mandiri berkelanjutan. Mandiri adalah langkah lanjut
yang rasional dari masyarakat yang telah sejahtera. Dalam kata mandiri telah
terkandung pengertian ada usaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan
usaha sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Dalam pemandirian masyarakat
miskin hendaknya tidak mengabaikan potensi dan kapasitas yang tersisa dalam
diri maupun kelompoknya serta menghindarkan diri dari budaya cepat puas dan
merasa cukup. Dalam pemandirian masyarkat miskin diajak untuk mengembangkan jejaring
komunikasi sehingga mereka bisa menambah wawasan dan selalu diingatkan untuk
memiliki pikiran yang maju berwawasan jauh ke depan untuk menjangkau kondisi
yang lebih baik.
- Membuat Pertumbuhan Ekonomi Bermanfaat bagi Rakyat
Miskin. Pertumbuhan ekonomi telah dan
akan tetap menjadi landasan bagi Pengentasan kemiskinan. Pertama,
langkah membuat pertumbuhan bermanfaat bagi rakyat miskin merupakan kunci
bagi upaya untuk mengkaitkan masyarakat miskin dengan proses
pertumbuhan-baik dalam konteks pedesaan-perkotaan ataupun dalam berbagai
pengelompokan berdasarkan daerah dan pulau. Hal ini sangat mendasar dalam
menangani aspek perbedaan antar daerah. Kedua, dalam menangani
ciri kerentanan kemiskinan yang berkaitan dengan padatnya konsentrasi
distribusi pendapatan di Indonesia, apapun yang dapat meningkatkan
pendapatan masyarakat akan dapat dengan cepat mengurangi angka kemiskinan
serta kerentanan kemiskinan.
- Membuat Pengeluaran Pemerintah Bermanfaat bagi Rakyat
Miskin. Di samping pertumbuhan ekonomi
dan layanan sosial, dengan menentukan sasaran pengeluaran untuk rakyat
miskin, pemerintah dapat membantu mereka dalam menghadapi kemiskinan (baik
dari segi pendapatan maupun non-pendapatan). Pertama,
pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk membantu mereka yang rentan
terhadap kemiskinan dari segi pendapatan melalui suatu sistem perlindungan
sosial modern yang meningkatkan kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi
ketidakpastian ekonomi. Kedua, pengeluaran pemerintah dapat
digunakan untuk memperbaiki indikator-indikator pembangunan manusia,
sehingga dapat mengatasi kemiskinan dari aspek non-pendapatan. Membuat
pengeluaran bermanfaat bagi masyarakat miskin sangat menentukan saat ini,
terutama mengingat adanya peluang dari sisi fiskal yang ada di Indonesia
saat kini.
2.2 Pemanfaatan
Modal sosial
Modal sosial merupakan kekuatan yang mampu membangun civil
community yang dapat meningkatkan pembangunan partisipatif, dengan demikian
basis modal sosial adalah trust, idiologi dan religi. Modal sosial dapat
dicirikan dalam bentuk kerelaan individu untuk mengutamakan keputusan
komunitas, Dampak dari kerelaan ini akan menumbuhkan interaksi kumulatif yang
menghasilkan kinerja yang mengandung nilai sosial.
Francis Fukuyama (1995) mengilustrasikan modal sosial dalam
trust, believe and vertrauen artinya bahwa pentingnya kepercayaan yang mengakar
dalam faktor kultural seperti etika dan moral. Trust muncul maka komunitas
membagikan sekumpulan nilai-nilai moral, sebagai jalan untuk menciptakan
pengharapan umum dan kejujuran. Ia juga menyatakan bahwa asosiasi dan jaringan
lokal sungguh mempunyai dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi
dan pembangunan lokal serta memainkan peran penting dalam manajemen lingkungan.
James S, Colement (1998) menegaskan bahwa, modal sosial sebagai alat untuk
memahami aksi sosial secara teoritis yang mengkombinasikan perspektif sosiologi
dan ekonomi. Pengertian ini dipertegas oleh Ismail Serageldin (1998) bahwa
modal sosial selalu melibatkan masyarakat dan menjadikan masyarakat muncul
bukan semata dari interaksi pasar dan memiliki nilai ekonomis.
Inti dasar pemikiran modal sosial adalah bahwa hubungan atau
jaringan sosial mempunyai nilai. Modal sosial menunjuk pada nilai
kolektif dari semua hubungan atau jaringan sosial dan kecenderungan yang timbul
dari hubungan atau jaringan ini untuk saling berbuat sesuatu (ada norma
hubungan timbal balik).
Modal sosial tak hanya menekankan kehangatan dan rasa
menyayangi, tetapi suatu variasi yang luas dari manfaat yang sangat spesifik
yang mengalir dari kepercayaan, hubungan timbal balik, informasi dan kerjasama
kemitraan dalam hubungan atau jaringan kerja sosial. Modal sosial menciptakan
nilai untuk masyarakat yang terhubungkan (termasuk yang tak terlibat kecuali
sekadar menjadi penonton). Modal sosial, menunjuk pada institusi, hubungan dan
norma yang membentuk kualitas dan kuantitas interaksi sosial suatu masyarakat.
Peningkatan bukti menunjukkan bahwa kohesi/kepaduan sosial begitu pentingnya
bagi masyarakat dalam ikhtiar pemakmuran ekonomi dan keberlanjutan pengembangannya.
Modal sosial bukan sekadar penjumlahan institusi yang menyokong sebuah
masyarakat, lebih dari itu, ia adalah perekat yang mengikat mereka secara
bersama.
Modal sosial berlangsung melalui: aliran informasi (contoh
pembelajaran keahlian kerja, pertukaran ide di kampus dsb), norma hubungan
timbal balik atau kerjasama mutual (menghubungkan masyarakat sejenis yang
berlangsung terus menerus), tindakan kolektif (contoh peran yang dimainkan
gereja kaum hitam dalam memperjuangkan hak-hak sipil), solidaritas yang
didukung hubungan sosial yang menerjemahkan mentalitas “Aku” menjadi mentalitas
“Kami”.
Contoh modal sosial dalam kehidupan sehari-hari: masyarakat
tingkat Rukun Tetangga di sebuah pemukiman yang secara informal mengawasi rumah
tetangganya ketika musim mudik Lebaran, ini adalah modal sosial yang dilakukan
dalam bentuk tindakan. Atau saat kebakaran melanda pasar Tanah Abang, Jakarta,
paguyuban keluarga Minang misalnya, membuka Pos Kemanusiaan (sekaligus pos
pemulihan ekonomi) bagi pedagang korban kebakaran asal Minang atau orang
Minang.
Dusun Poton, sebuah kampung di pinggiran kota Yogyakarta,
juga menunjukkan contoh andil modal sosial dalam mengentaskan kemiskinan.
Seorang janda tua, Mbok Kromo (70), asalnya seorang tunawisma. Suaminya yang
buruh tani meninggal tanpa mewariskan harta apapun. Anaknya meninggal pula
ketika masih bayi karena sakit yang tidak terobati. Mbok Kromo, janda rabun
yang sedang menderita sakit ini, dalam perjalanan mencari persinggahan terakhir
tiba di dusun Poton dan mendapat sambutan yang ramah dari warga Poton. Warga
memberinya tanah, bergotong-royong membangunkan gubuk. Sebenarnya, sebagai
janda tua dan rabun, ia punya potensi kuat menjadi pengemis, tetapi sikap
beradab warga dusun Poton mendorongnya menunjukkan kemampuannya bekerja –
semampunya, bukan tercampak menadahkan tangan di jalanan.
Contoh modal sosial lainnya dapat ditemukan dalam jaringan
pertemanan, pertetanggaan, masjid, sekolah, asosiasi warga masyarakat, klub
beladiri dan sebagainya. Motto “di mana setiap orang tahu nama anda” menangkap
satu aspek penting dari modal sosial. Dampak modal sosial memberi efek pada
transaksi ekonomi, produksi, loyalitas dan kesediaan untuk menanggung resiko
bahkan bencana yang besar.
Modal sosial selain mempunyai sisi positif juga memiliki
sisi negatif. Modal sosial dapat menjadi suatu perangkap dan alat yang
berpengaruh kuat terhadap terjadinya ketidakmajuan bahkan pemiskinan seseorang
atau sekelompok orang. Modal sosial dapat menjadi suatu pembatas sosial bagi
seseorang untuk keluar atau masuk dari suatu kelompok. Kegiatan-kegiatan kolusi
dan nepotisme pun seringkali lahir karena orang cenderung menggunakan
relasi-relasi primordial. Sisi negatif lain dari modal sosial adalah biaya.
Biaya-biaya ini merupakan konsekuensi dari pemeliharaan kebersamaan dan ikatan
dalam kelompok. Dalam kasus-kasus tertentu seperti sindikat mafia, biaya yang
harus ditanggung bahkan berupa nyawa atas kesetiaan terhadap kelompok. Sisi
gelap modal sosial juga ditujukan pada kelompok atau jaringan yang punya tujuan
yang berlawanan dengan tujuan masyarakat umum (contoh kartel narkoba, sindikat
penipuan dsb)
Modal Sosial dan Masyarakat Indonesia
Hasil survey yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan
Masyarakat (PPIM) IAIN (kini UIN Syarif Hidyaatullah Jakarta) di 16 provinsi di
Indonesia menunjukkan, intrepersonal trust di antara warga kita amat rendah. 86
% (dari 2.017 sampel responden), umumnya masyarakat Indonesia merasa harus
berhati-hati dengan yang lainnya, atau tidak mudah percaya. Ini berarti, betapa
dominan sikap saling curiga antar warga masyarakat kita dalam kehidupan sosial
mereka (Mujani dan Jamhari, 2002). Proporsi yang cukup besar dalam kegiatan
sosial kemasyarakatan yang dilakukan lembaga-lembaga agama seperti Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama (NU) ternyata belum cukup bisa membantu menjembatani
hubungan antar warga dalam membangun rasa saling percaya dan sikap toleran.
Tegasnya, institusi keagamaan di mana warga sanggup berasosiasi dan berkiprah
sukarela, belum cukup kuat mentransformasikan nilai-nilai keadaban (civility),
salah satunya: trust ke dalam perilaku pengikut-pengikutnya. Modal sosial di
Indonesia justru berkembang dalam sisi gelapnya. Contohnya dominasi praktik
kolusi-nepotisme dan berbagai bentuk praktik mafia. Akar praktik kolusi-nepotisme
adalah kuatnya tradisi anak penguasa yang selalu memperoleh kemudahan berusaha
karena jaringan kekuasaan yang dibangun oleh orangtua mereka. Anak penguasa
memperoleh secara mudah segenap faktor modal sosial karena statusnya. Lancarnya
transaksi sosial berarti penghematan besar dalam transaksi ekonomi. Dengan
modal sosial yang kuat mereka tak mengeluarkan sepeserpun untuk berusaha.
v Ismail Serageldin memberikan
klasifikasi modal sosial antara lain:
- Modal sosial dalam bentuk interaksi sosial yang tahan
lama tetapi hubungan searah, seperti pengajaran dan perdagangan sedang
interaksi sosial yang hubungannya resiprokal (timbal balik) seperti
jaringan sosial dan asosiasi.
- Modal sosial dalam bentuk efek interaksi sosial lebih
tahan lama dalam hubungan searah seperti kepercayaan, rasa hormat dan
imitasi sedang dalam bentuk hubungan timbal balik seperti gosip, reputasi,
pooling, peranan sosial dan koordinasi, semua ini mengandung nilai ekonomi
yang tinggi.
v Modal sosial untuk kasus
kemiskinan dapat dibagi menjadi 2 secara garis besar, yaitu antara lain :
- Modal fisik
Setiap manusia dianugerahi allah dengan tampilan yang
sempurna secara fisik walaupun ada juga yang tidak sempurna. Fisik yang kita
miliki dapat kita gunakan untuk bekerja. Sehingga dengan bekerja dapat
menghindarkan seseorang masuk ke dalam garis kemiskinan. Kemiskinan juga
ditimbulkan karena penampilan fisik yang kurang sempurna atau dalam arti lain
cacat. Contohnya para pengemis jalanan yang sering ditemui di lampu merah.
Mereka ada yang buta, bahkan kakinya cacat. Karena merasa mempunyai
keterbatasan fisik, akhirnya mereka mengemis di jalanan seperti itu.
- Modal financial
Modal financial/keuangan sangat penting untuk kasus
kemiskinan. Dengan modal financial suatu Negara dapat mengatasi kasus
kemiskinan. Tanpa adanya modal financial kasus kemiskinan menjadi lambat dalam
penanganannya. BLT,Raskin,Subsidi silang,BOS, semua itu dapat terealisasi
karena adanya modal financial yang menunjangnya.
v Kaitan antara modal sosial dengan
kemiskinan
Dalam kajiannya mengenai berbagai institusi lokal di
Bolivia, Burkina Faso dan Indonesia Grootaert (2001) berkesimpulan bahwa di
ketiga negara tersebut secara konsisten terdapat indikasi kuat bahwa modal
sosial mampu secara signifikan mengurangi kemungkinan orang jatuh miskin.
Richard Rose (1999) dalam analisis empirisnya mengenai Rusia juga menemukan hal
serupa, yakni bahwa modal sosial mampu mendorong kesejahteraan individu. Harry
Goulbourne (2006) menemukan kebiasaan unik pada masyarakat Karibia. Mereka yang
berada di luar negeri memiliki kebiasaan mengirimkan uang kepada
sanak-familinya yang tinggal di Karibia sebagai wujud konkret ikatan
transnasional mereka. Ikatan transnasional ini pun pada gilirannya juga akan
berdampak ekonomis bagi orang-orang yang menerima kiriman uang tersebut.
Grameen Bank yang didirikan oleh Muhamad Yunus di Bangladesh tahun 1976
merupakan contoh positif bagaimana modal sosial mampu menolong jutaan rakyat
miskin di sana untuk keluar dari kemiskinan. Singkatnya, para peneliti dan
praktisi pembangunan sepakat bahwa modal sosial merupakan sebuah alat untuk
mengurangi kemiskinan. Namun demikian, pengaruh positif yang diberikan oleh
modal sosial dalam penciptaan kesejahteraan individu dan keluarga tidak terjadi
secara langsung. Dalam konteks kesejahteraan ekonomi, modal sosial tersebut
mempengaruhi kesejahteraan melalui akses terhadap kredit, akumulasi aset, dan
aksi kolektif (Grootaert, 1999). Secara implisit, ini menunjukkan bahwa
networking sebagai bentuk modal sosial memiliki peran signifikan bagi
penciptaan kesejahteraan individual, terutama bagi orang miskin yang tidak
memiliki modal ekonomi karena dalam networking tersebut sering kali “tersedia”
akses-akses terhadap berbagai kredit, informasi, dan sebagainya. Tak salah bila
Putnam mengemukakan pentingnya hubungan dan jejaring sosial sebagai jalan orang
dan masyarakat berpendapatan rendah untuk mentas dari kemiskinan (bdk.
DeFillipis).10
2.3 Pemanfaatan
Institusi Sosial
v Organisasi Masyarakat
1) BAZIS (Badan Amil Zakat, Infak, dan Sedekah)
sebagai institusi keagamaan perlu digerakkan lagi sehingga gaungnya tidak hanya
muncul di tingkat kabupaten atau provinsi, tetapi harus merambah sampai bawah
seperti RT/ RW. Pengelolaan BAZIS harus transparan, bila BAZIS tingkat RT/RW
diberi otonomi untuk mengelola sendiri dana yang dikumpulkan. Dengan demikian
BAZIS ini dapat menolong masyarakat di lingkungannya sendiri. Sangat
disayangkan, BAZIS seolah baru menampakkan gerakannya menjelang Lebaran berupa
pengumpulan zakat fitrah. Pada hal potensi zakat mal (harta) seharusnya juga
digali sehingga dapat memberi manfaat lebih besar pada masyarakat miskin.
Alokasi dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) tentunya jangan dibatasi untuk
hal-hal yang bersifat keagamaan saja tetapi juga untuk menghidupkan roda
ekonomi masyarakat miskin dengan cara memberi bantuan modal. Selain itu dana
ZIS bisa diberikan dalam wujud beasiswa bagi siswa-siswi dan keluarga miskin.
Organisasi masyarakat sipil seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), para
peneliti, dan kalangan akademisi pemerhati isu-isu reformasi sektor keamanan (SSR)
2) Gerakan Kemanusiaan – Bandung Peduli. Gerakan
/ organisasi ini dibentuk pada tanggal 23 – 25 Februari 1998. Bandung Peduli
adalah gerakan kemanusiaan yang memfokuskan kegiatannya pada upaya menolong
orang kelaparan, dan mengentaskan orang-orang yang berada di bawah garis
kemiskinan. Dalam melakukan kegiatan, Bandung Peduli berpegang teguh pada
wawasan kemanusiaan, tanpa mengindahkan perbedaan suku, ras, agama,
kepercayaan, ataupun haluan politik.
3) Banking of the poor
Bentuk ini mendasarkan diri pada saving led microfinance,
dimana mobilisasi keuangan mendasarkan diri dari kemampuan yang dimiliki oleh
masyarakat miskin itu sendiri. Bentuk ini juga mendasarkan pula atas membership
base, dimana keanggotaan dan partisipasinya terhadap kelembagaan mempunyai
makna yang penting. Bentuk-bentuk yang telah terlembaga di masyarakat antara
lain : Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Kelompok Usaha Bersama, Credit Union
(CU), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dll
4) Banking with the poor
Bentuk ini mendasarkan diri dari memanfaatkan kelembagaan
yang telah ada, baik kelembagaan (organisasi) sosial masyarakat yang mayoritas
bersifat informal atau yang sering disebut Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM)
serta lembaga keuangan formal (bank). Kedua lembaga yang nature-nya berbeda
itu, diupayakan untuk diorganisir dan dihubungkan atas dasar semangat simbiose
mutualisme, atau saling menguntungkan. Pihak bank akan mendapat nasabah yang
makin banyak (outreaching), sementara pihak masyarakat miskin akan mendapat
akses untuk mendapatkan financial support. Di Indonesia, hal ini dikenal dengan
pola yang sering disebut Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat
(PHBK).
v Organisasi Swasta
1) Lembaga Swadaya Masyarakat (disingkat LSM)
adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun
sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum
tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Organisasi ini
dalam terjemahan harfiahnya dari Bahasa Inggris dikenal juga sebagai Organisasi
non pemerintah (disingkat ornop atau ONP (Bahasa Inggris: non-governmental
organization; NGO). Berdasarkan Undang-undang No.16 tahun 2001
tentang Yayasan,
maka secara umum organisasi non pemerintah di indonesia berbentuk yayasan.
2) Organisasi donor, adalah organisasi
non pemerintah yang memberikan dukungan biaya bagi kegiatan ornop lain.
3) Organisasi mitra pemerintah, adalah
organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan bermitra dengan
pemerintah dalam menjalankan kegiatanya.
4) Organisasi profesional, adalah organisasi non
pemerintah yang melakukan kegiatan berdasarkan kemampuan profesional tertentu
seperti ornop pendidikan, ornop bantuan hukum, ornop jurnalisme, ornop
kesehatan, ornop pengembangan ekonomi dll.
5) Organisasi oposisi, adalah organisasi non
pemerintah yang melakukan kegiatan dengan memilih untuk menjadi penyeimbang
dari kebijakan pemerintah. Ornop ini bertindak melakukan kritik dan pengawasan
terhadap keberlangsungan kegiatan pemerintah
6)
Yayasan Arek Lintang (Alit) Surabaya. Hanya, inisiatif anti kemiskinan Alit
bergerak di bidang kesehatan. Yaitu, berupa upaya untuk menghapus diskriminasi
pelayanan kesehatan warga miskin. Sasarannya adalah peningkatan akses terhadap
program jaminan perawatan kesehatan masyarakat miskin (JPKMM). Selain itu,
telah dilakukan pula peningkatan pemberdayaan peran keluarga miskin, dan
bantuan bagi keluarga fakir miskin dalam bentuk kelompok usaha bersama (KUBE)
bagi 545.219 KK melalui 50.000 KUBE dan 95 Lembaga Keuangan Mikro KUBE
Sejahtera. Sementara itu, terhadap 1,9 juta penyandang cacat dan 365,9 ribu
anak cacat, telah dilaksanakan pula rehabilitasi dan perlindungan sosial,
termasuk penyempurnaan sarana dan prasarana pusat rehabilitasi dan panti cacat.
Sedangkan terhadap kelompok tuna sosial yang meliputi 87,5 ribu wanita tuna
susila, 59,1 ribu gelandangan dan 8,2 ribu gelandangan penderita HIV/AIDS, 18,2
ribu bekas warga binaan lembaga permasyarakatan, serta 28,3 ribu pengemis,
telah dilaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial. Demikian pula telah
dilaksanakan penyempurnaan sarana dan prasarana panti tuna sosial. Sedangkan
kepada para korban bencana sosial diberikan bantuan tanggap darurat, termasuk
bantuan pemulangan/terminasi.
7) Badan Konsultasi untuk Membantu Masyarakat
Paling Miskin (CGAP) diresmikan pada bulan Juni 1995 untuk merangsang lebih
banyak lagi pemberian pinjaman dan dukungan kredit mikro untuk masyarakat yang
sangat miskin. Pada akhir tahun 1995, 16 negara donor bergabung dengan CGAP,
dan memilih sekretariat yang berlokasi di Bank Dunia. CGAP dipimpin oleh
Mohammad Yunus dari Bank Grameen. Kebanyakan anggotanya berasal dari agen-agen
pembangunan bilateral dan multilateral, walaupun yayasan-yayasan dan
individu-individu dapat secara langsung bergabung apabila menyediakan uang
sebanyak US$ 250.000 untuk sekretariat dan menyerahkan sedikitnya US$ 2 juta
untuk pembiayaan mikro. Badan Penasihat Kebijakan (PAG) dimaksudkan menyiapkan
arahan dan saran untuk CGAP dan sekretariat. CGAP didirikan dengan dana awal
US$ 30 juta dari Bank Dunia dan mengharapkan US $ 200 juta dolar lainnya dapat
dikumpulkan oleh donor-donor lain. Prioritas utama CGAP adalah mendukung institusi
finansial, yang dapat menggunakan dana tambahan melalui usaha-usaha komersial.
CGAP juga diharapkan menjadi institusi yang dapat memfasilitasi usaha-usaha
“awal – pendahuluan” oleh institusi-institusi lain dan menjadi katalisator
terhadap program-program inovatif pada para peminjam lain dan bagian lain dari
Bank Dunia. CGAP dijadwalkan memulai kegiatannya pada Februari 1996, dan
terlalu dini untuk memprediksi seberapa tingkat keberhasilan usaha tersebut
akan tercapai. Setelah Bank Grameen sukses di Bangladesh, pendekatan menyeluruh
terhadap target kredit mikro untuk masyarakat paaling miskin semakin diperluas.
Pada hal-hal tersebutlah Bank Dunia memperkenalkan dan mendukung model
pembangunan “dari bawah ke atas” dan mendapat catatan khusus. Pada sisi yang
lain, beberapa pengamat meragukan CGAP akan selalu high profile, tetapi
akhirnya kecil, usaha yang dilakukan Bank Dunia secara signifikan tidak akan
mempengaruhi pendekatan utamanya terhadap kemiskinan dalam pembangunan.
8)
Grameen Bank (GB) mengedepankan microcredit sebagai kebijakan bagi masyarakat
marginal, terutama perempuan. GB adalah Bank yang dikelola secara independen
oleh warga miskin dan menolak intervensi sistem perbankan konvensional karena
secara ideologis, GB berposisi di kiri terkait dengan preferensi pada
kesejahteraan nasabah-nasabahnya sebagaimana konsepsi koperasi. Namun GB tidak
anti kanan karena tidak menolak globalisasi dan pasar bebas asal
mengikutsertakan si miskin. Jalan tol globalisasi tidak seharusnya dikuasai
oleh truk-truk raksasa negara-negara maju dengan menyingkirkan becak-becak di
negara dunia ketiga. Kredit mikro didasari asumsi bahwa kewirausahaan tidak
harus melulu profit, melainkan sebuah investasi yang digerakkan oleh kesadaran
sosial.
2.4 Optimalisasi
Kontribusi Dalam Pelayanan Sosial
Penyediaan layanan sosial bagi rakyat miskin baik oleh
sektor pemerintah ataupun sektor swasta-adalah mutlak dalam penanganan
kemiskinan di Indonesia. Pertama, hal itu merupakan kunci dalam
menyikapi dimensi non-pendapatan kemiskinan di Indonesia. Indikator pembangunan
manusia yang kurang baik, misalnya Angka Kematian Ibu yang tinggi, harus
diatasi dengan memperbaiki kualitas layanan yang tersedia untuk masyarakat
miskin. Hal ini lebih dari sekedar persoalan yang bekaitan dengan pengeluaran
pemerintah, karena berkaitan dengan perbaikan sistem pertanggungjawaban,
mekanisme penyediaan layanan, dan bahkan proses kepemerintahan. Kedua,
ciri keragaman antar daerah kebanyakan dicerminkan oleh perbedaan dalam akses
terhadap layanan, yang pada akhirnya mengakibatkan adanya perbedaan dalam
pencapaian indikator pembangunan manusia di berbagai daerah. Dengan demikian,
membuat layanan masyarakat bermanfaat bagi rakyat miskin merupakan kunci dalam
menangani masalah kemiskinan dalam konteks keragaman antar daerah.
v Optimalisasi sumber daya manusia (SDM)
Strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga
untuk peningkatan penghasilan karena tuntutan hidup yang semakin besar.
Berbagai bentuk strategi yang dibangun oleh keluarga fakir miskin antara lain:
melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan atau
mengerahkan anggota keluarga untuk memperoleh penghasilan. Berdasar hasil
skoring, strategi ini memperoleh nilai 2,70. Secara numerik angka ini
menunjukkan, bahwa strategi dimaksud sering dilakukan. Bahkan dalam strategi
ini, sebagian dari mereka adalah anak yang masih duduk di bangku sekolah. Jika
rata-rata dalam keluarga mempunyai 5 orang anggota, maka kondisi ini merupakan
potensi yang relatif besar untuk mengakses uang.
v Optimalisasi peran sosial Bank Syari’ah dalam
mengentaskan kemiskinan
Dengan berbagai perangkat nilai yang bersumber dari wahyu
dan sistem manajerial yang memiliki keberpihakan sosial, bank Syari’ah memiliki
komitmen untuk mendistribusikan kesejahteraan yang menjadi hak dasar umat
manusia. Dengan kata lain bank Syari’ah hendak mengentaskan kemiskinan yang
menjadi yang bersumber dari ketidakadilan struktur dan sistem yang ada. Oleh
karena itu secara konseptual banyak ditemukan perangkat-perangkat lunak (software)
dari Bank Syari’ah yang secara inheren memiliki misi mengentaskan
kemiskinan dan mendistribusikan kesejahteraan.
Misi dan keberpihakan sosial yang terdapat pada bank
Syari’ah paling tidak terkandung dalam nomenklatur dan
terminologi yang menjadi aturan main atau mekanismenya. Konsep-konsep seperti muzara’ah,
mudharabah, musyarakah, qardhul hasan, ijarah, murabahah dan lain
sebagainya, secara filosofis mengandung makna yang sangat dalam akan komitmen
dan visi sosial bank Syari’ah. Pemahaman seperti ini mengindikasikan bahwa
kemiskinan dan ketidak adilan merupakan hal yang tidak ada akarnya dalam Islam.
Oleh karena itu sudah saatnya bank Syari’ah melakukan optimalisasi terhadap
peran-peran sosialnya dalam rangka ikut menyelesaikan permasalahan ini yang
semakin hari semakin meningkat. Terdapat formulsai menarik yang dirumuskan oleh
Muhammad Akram Khan, menurutnya, strategi yang bisa dilakukan oleh seluruh kaum
Muslimin secara global dalam rangka memerangi kemiskinan saat ini adalah
sebagai berikut; Pertama, strategi Islam untuk memerangi
kemiskinan sudah semestinya diorientasikan kepada pengembangan kapasitas
produktif dari masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan-pelatihan
keterampilan. Kedua, masyarakat yang diberdayakan sepatutnya
tidak tercerabut dari akar kulturnya dan mereka diberi kesempatan untuk mengambil
keputusan-keputusan yang terkait dengan diri mereka sendiri. Cara tersebut akan
menjadi insentif bagi pengembangan diri (self development) dan
menjadikan mereka terlibat dalam proses pemberdayaan. Ketiga, pembiayaan
mesti disediakan melalui kerjasama bank-bank berbasis profit loss
sharing. Masyarakat harus menyediakan akses sumber-sumber fisik dan
organisasi publik dengan mendorong orang-orang yang diberdayakan untuk
mengorganisasikan diri ditempat mereka tinggal.Keempat, proses
pemberdayaan sebaiknya tidak menggunakan dana pinjaman berbunga dari negara
lain, sekalipun untuk langkah-langkah yang bersifat ad hoc, namun
seharusnya mendorong kerjasama antara kerjasama antar negara dengan dasar
partisipasi sejajar (equity participation) dalam usaha bersama atau
dalam bentuk pinjaman tanpa bunga. Kelima,yang terpenting dari itu
semua, sistem zakat dalam Islam dapat menyediakan keamanan sosial pada tingkat
lokal. Masyarakat ditingkat lokalitas harus dapat menorganisasikan dengan rapih
sehingga mereka dapat menyisihkan sebagian dari kekayaan mereka untuk
merehabilitasi orang-orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam
sistem keamanan sosial, keluarga adalah unsur paling utama untuk proses
pemberdayaan ini, bila keluarga tidak mampu maka komunitas lokal diharuskan
mengambil alih tanggung jawab tersebut. Berangkat dari strategi tersebut,
tampaknya Bank Syari’ah telah memiliki modal sosial (social capital)
yang kokoh untuk ikut mengentaskan kemiskinan. Modal sosial yang dimaksud
adalah kepercayaan masyarakat terhadap bank Syari’ah yang semakin tinggi,
sistem yang anti bunga, berpihak terhadap keadilan dan kesejahteraan bersama,
dan yang paling penting adalah visi dan keberpihakan sosialnya yang menjadi ruh
dalam setiap aktifitasnya. Dengan berbagai perangkat dan kekuatan yang
dimilikinya, bank syari’ah memiliki peluang yang cukup besar untuk membuktikan
kiprah sosialnya di negeri Indonesia ini. Apalagi sejak kelahirannya pada tahun
1991 sampai dengan sekarang. pertumbuhannya mengalami peningkatan yang sangat
pesat. Mengutip pandangan Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanuddin Abdullah,
bahwa sampai dengan tahun 2010 nanti jumlah kantor cabang bank-bank Syariah
diperkirakan akan mencapai 586 cabang. Prospek perbankan Syariah di masa depan
diperkirakan juga akan semakin cerah. Hal senada di kemukakan oleh Asosiasi
Asuransi Syariah di Indonesia, menurut catatan lembaga ini tingkat pertumbuhan
ekonomi Syariah selama 5 tahun terakhir mencapai 40 persen, sementara asuransi
konvensional hanya 22,7 persen. Modal sosial dan pesatnya perkembangan bank
Syari’ah semestinya menjadikan lembaga keuangan Islam ini mengoptimalkan
peran-peran sosialnya terhadap masyarakat ditataran akar rumput dalam rangka
mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Bertitik tolak dari formulasi yang
ditawarkan oleh Muhammad Akram Khan, terdapat beberapa strategi yang dapat
dilakukan oleh bank Syari’ah dengan melihat kondisi objektif negeri ini. Pertama, harus
dipahami bahwa kondisi perekonomian Indonesia adalah ekonomi kerakyatan. Oleh
karena itu sudah saatnya perbankan Syariah mulai melirik untuk menjalin
kerjasama dengan UKM yang berada ditengah-tengah masyarakat. Pihak
perbankan sebagai lembaga keuangan penggerak roda ekonomi harus mulai menggeser
konsep perbankan sekarang yang cenderung lebih berani untuk bermain di sektor
bisnis kelas tinggi. Perbankan Syariah harus mulai merangkul UKM-UKM yang
ada sebagai mitra kerja untuk membangkitkan kembali perekonomian Indonesia yang
lesu. Untuk mengurangi resiko usaha, perbankan Syariah perlu memperhatikan
3 kunci penting, yaitu penentuan produk yang dapat dipasarkan, inovasi
teknologi dan pendampingan terhadap UKM. Dalam perjalanan usahanya, UKM
perlu didampingi oleh tenaga-tenaga pendamping dari perbankan Syariah yang
diharapkan dapat memberikan motivasi,memanage konflik dan turut
membangun perekonomian rakyat. Kedua, untuk langsung menyentuh
lapisan terbawah dari masyarakat sekaligus melakukan misi sosialisasi, bank
Syari’ah dapat melakukan pelatihan dan pendidikan bagi masyarakat yang
diharapkan dapat mencetak entrepreneur-entrepreneur yang
handal dan kompetitif. Para entrepreneur tersebut dikondisikan
untuk loyal terhadap pihak perbankan Syariah, sehingga mereka dapat dibentuk
menjadi para pelaku ekonomi Syari’ah dimasa yang akan datang. Dalam merealisasikan
startegi ini, bank Syari’ah dapat menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi
atau lembaga yang terpercaya dan berkompeten dalam bidang pendidikan dan
pelatihan kewirausahaan. Untuk kedepannya nanti, produk dari pendidikan dan
pelatihan ini diharapkan dapat mengurangi angka pengangguran dan menumbuhkan
kembali perekenomian di Indonesia. Ketiga, mengoptimalkan
peran Qardhul Hasan yang bisa diambil dari dana Zakat, Infaq
dan Shadaqah sebagai basis dana untuk usaha-usaha produktif. Sudah saatnya
potensi keuangan yang tersimpan tidak lagi menjadi dana konsumtif, akan tetapi
potensi besar itu seharusnya dijadikan modal dan dikelola menjadi dana-dana
yang produktif. Dan Sudah saatnya ada perubahan paradigma yang selalu
memperlakukan potensi dana yang konsumtif menjadi perlakuan yang produktif.
v Optimalisasi kontribusi BOS (Bantuan
Operasional Sekolah)
Dua inisiatif bidang pendidikan berkaitan dengan program
bantuan operasional sekolah (BOS). Pemerintah pusat kali pertama meluncurkan
BOS pada 2005. Cita-cita luhur program itu adalah meningkatkan akses siswa
miskin untuk terus bersekolah. Dengan mengalokasikan BOS ke semua sekolah
setingkat SD dan SMP di negeri ini, siswa miskin akan bebas dari biaya
pendidikan. Sementara yang lain semakin teringankan. Kenyataan berkata lain.
Sejak tahun pertama sejumlah penyimpangan menyertai pelaksanaan BOS.
Kejanggalan seperti adanya ketidaksesuaian dengan RAPBS (rancangan anggaran
pendapatan dan belanja sekolah) banyak dilakukan sekolah-sekolah. Lainnya
adalah ketiadaan transparansi, masih adanya kenaikan SPP, dan pungutan lain
(Jawa Pos, 9 Januari 2006). Yang paling kontroversial, pungutan sekolah jadi
lebih besar setelah ada BOS. Tentunya situasi itu sangat memberatkan siswa dari
kalangan tidak mampu. Kondisi serupa terjadi di Kota Malang. Bermodal
temuan-temuan penyimpangan BOS, Pusat Telaah Informasi Regional (Pattiro)
Malang tergerak untuk mencari akar masalah dan solusinya. Hingga, ditemukan
jawaban berupa penguatan penyusunan RAPBS. Isunya bukan sekadar memenuhi standar
teknis semata, tapi bermuatan partisipasi dan berpihak pada siswa miskin.
Berkat upaya intensif Pattiro dan kooperatifnya Dinas Pendidikan Kota Malang,
inisiatif itu berbuah manis. Keberpihakan sekolah kepada siswa miskin menjadi
lebih baik. Contohnya, pada penerimaan siswa baru (PSB) 2007 ini, sejumlah
sekolah di Malang membebaskan biaya siswa miskin. Bahkan, ada sekolah yang rela
merevisi RAPBS untuk mengakomodasi ketidakmampuan orang tua siswa. Masyarakat
pun menjadi semakin berani untuk mengadu bila terjadi penyimpangan BOS.
Komitmen lain pun bermunculan. Pedoman penyusunan RAPBS yang disusun Pattiro
bersama komunitas sekolah dan pihak dinas dijadikan sebagai acuan. Dinas juga
membuka pos pengaduan untuk keluhan pelayanan pendidikan. Seperti pada masa
PSB, wali kota berkomitmen bahwa tidak boleh ada pencoretan dalam PSB karena
ketidakmampuan membayar siswa. Inisiatif serupa dijalankan di Surabaya oleh
Pengurus Wilayah Nasyiyatul Aisyiyah (PWNA) Jawa Timur. Bedanya, penguatan
RAPBS dilakukan terhadap sekolah-sekolah swasta. Pada mulanya program itu
dipicu alokasi dana BOS yang tidak adil karena diberlakukan bagi semua siswa,
bukan hanya siswa miskin. Kenyataan di sekolah swasta, pemasukan dari siswa
merupakan nyawa bagi keberlangsungan proses belajar-mengajar. Artinya, siswa
miskin ikut menanggung beban yang sama dengan siswa dari kalangan mampu. Dengan
menggandeng majelis Dikdasmen Muhammadiyah Jatim dan sekolah-sekolah swasta
lain, PWNA berhasil menyusun RAPBS partisipatif. Tentunya yang berpihak pada siswa
miskin. PWNA juga berhasil menyusun formula subsidi silang BOS antara siswa
mampu dan tidak mampu. Yang terpenting, terbentuk jaringan antarsekolah. Selain
sebagai sarana tukar informasi, jaringan itu berfungsi mengangkat
persoalan-persoalan dalam hubungan antara sekolah dan pemerintah.
2.5 Kerjasama dan
jaringan
- Kerjasama Penanggulangan Kemiskinan di Garut
Kerjasama Team Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK)
Nasional dan Kabupaten Garut ditandatangani oleh Deputi Bidang Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan Kantor Menko Kesra Sujana Royat dan Wakil Bupati Diky
Candra. Garut merupakan salah-satu dari 15 kabupaten/kota di Indonesia yang
akan mendapatkan program “Strategic Alliance for Poverty Alleviation:SAPA”
Indonesia tahap pertama, selama rentang waktu Maret 2009-Maret 2011. Program
itu, mempromosikan pemenuhan hak-hak dasar kaum miskin dan marginal berupa hak
atas pendidikan, kesehatan, pangan dan kesempatan berusaha sebagai “road to end
poverty”, agar masyarakat bisa “hirup merenah jeung tumaninah” (hidup mandiri
dan nyaman) pada 15 kabupaten/kota di Indonesia, katanya. Gerakan pemberdayaan
masyarakat ini, diselenggarakan atas kerjasama pemangku kepentingan yakni
pemerintah, TKPK Kab, Nasional serta CSO/LSM dengan empat isu strategis terdiri
“pro poor policy and budgeting” berbasis hak dasar kaum miskin dan marginal
meliputi pangan, pendidikan, kesehatan, tanah dan ekonomi.
- Kerjasama Yayasan Alit(Arek Lintang Surabaya)
Alit menggandeng Pokja PKK untuk mendata kasus-kasus
kesehatan si miskin di wilayahnya. Berdasar temuan di lapangan, Alit melakukan
dialog dengan dinas sosial, dinas kesehatan, RSD Soewandhi, dan RSUD dr
Soetomo. Tidak ketinggalan hearing dengan pihak DPRD kota dan Provinsi.
Kemudian hal itu ditindaklanjuti dengan komitmen mereka untuk mengusahakan
jaminan pelayanan kesehatan. Inisiatif dan upaya-upaya tersebut tidak sia-sia.
Pihak RSUD dr Soetomo mau menyediakan form bagi warga berstatus T4 (tempat
tinggal tidak tetap) sekaligus pemberian pelayanan yang layak. Pelayanan, mulai
loket pendaftaran, kasir, hingga pelayanan obat, telah dibenahi. Warga
dampingan pun mulai berubah. Mereka, yang dulu takut berobat karena
pelayanannya diskriminatif, saat ini lebih berani, bahkan bila perlu beradu
pendapat tentang hak-hak pelayanan kesehatan mereka. Demikian juga,
ketergantungan mereka terhadap pendampingan Alit berangsur menurun.
- Kerjasama antar anggota TKPK (Tim Koordinasi
Penanggulangan Kemiskinan)
Merujuk pada dokumen Strategi Nasional Penanggulangan
Kemiskinan (SNPK) kebijakan penanggulangan kemiskinan memerlukan
kelembagaan yang kuat
baik di tingkat pusat maupun daerah. Salah satu kelembagaan yang melekat pada
SNPK adalah kelembagaan Komite Penganggulangan Kemiskinan (KPK) yang diperkuat
oleh Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 junto Nomor 34 dan Nomor 8 Tahun
2002.
Fungsi Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) adalah sebagai
forum lintas pelaku dalam melakukan koordinasi perencanaan, pembinaan,
pemantauan dan pelaporan seluruh upaya penanggulangan kemiskinan. Bahkan untuk
lebih mempertajam keberadaan Komite Penanggulangan Kemiskinan maka pada tanggal
10 September 2005 dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 tentang
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). Keberadaan TKPK diharapkan
melanjutkan dan memantapkan hasil-hasil yang telah dicapai oleh KPK.
Anggota TKPK terdiri dari 12 Menteri Negara yang memimpin
Departemen, 6 Menteri Negara yang tidak memimpin departemen, 1 pejabat
setingkat Menteri dan 3 Kepala Badan yang memiliki bidang tugas yang terkait dengan
upaya penanggulangan kemiskinan.
- Hampir semua program penganggulangan kemiskinan
pemerintah yang bersifat proyek skala nasional menggunakan pinjaman luar
negeri sebagai sumber pembiayaannya. Pemerintah bekerjasama dengan Bank
Dunia, ADB, dan lembaga donor lainnya dalam melaksanakan program-program
berskala nasional. Alasan klasik penggunaan utang luar negeri ini adalah
keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah di satu sisi, dan masalah
kemiskinan dengan dampak luas di sisi lain, yang harus segera ditangani
dan membutuhkan biaya tidak sedikit. Padahal bila dirunut ke belakang,
masalah keterbatasan anggaran saat ini disebabkan oleh politik utang luar
negeri di masa lalu yang mengakibatkan alokasi hampir separuh APBN untuk
membayar utang dan bunga yang begitu besar. Prioritas pembayaran bunga
utang (dalam jumlah besar) tiap tahun ini lah yang menyebabkan terbatasnya
sisa anggaran untuk melakukan pembangunan yang sebenarnya. Oleh karena
itu, bila pemerintah masih mengulang kebijakan yang serupa dengan masa
lalu, maka persoalan yang sama akan terus berlanjut ke genarasi
berikutnya, bahkan mungkin hingga tiba saatnya seluruh APBN tersedot untuk
membayar utang dengan bunga yang terus melambung.
- Jaringan Sosial atau social network merupakan elemen
penting dalam pengembangan masyarakat, termasuk dalam perancangan strategi
penanggulangan kemiskinan di tingkat lokal. PM sebagai sebuah metode
seringkali menekankan pentingnya warga masyarakat dan lembaga-lembaga
tingkat lokal sebagai inisiator, kolaborator dan sumber yang dapat
dijadikan sarana pencapaian tujuan program. Jaringan diantara
lembaga-lembaga masyarakat dapat menggambarkan kondisi dan dinamika
kehidupan sosial masyarakat, termasuk tingkat standar hidup, partisipasi
sosial, dan pola-pola relasi sosial diantara mereka. Lembaga-lembaga
sosial lokal baik yang bersifat tradisional maupun modern yang berada pada
sebuah komunitas lokal merupakan kendaraan dengan mana perubahan sosial
dan aksi sosial berlangsung (Robert, 1995; Dershem dan Gzirishvili, 1998;
Reingold, 1999
- Pemanfaatan jaringan
Strategi pemanfaatan jaringan, merupakan salah satu upaya
yang ditempuh
oleh keluarga fakir miskin dalam mengatasi masalah keluarga. Jaringan yang
dimaksud adalah relasi sosial mereka, baik secara informal maupun formal dengan
lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan. Pemanfaatan jaringan ini
terlihat jelas dalam mengatasi masalah ekonomi dengan pinjam uang kepada
tetangga, mengutang ke warung terdekat, memanfaatkan program anti kemiskinan,
bahkan ada yang pinjam uang ke rentenir atau bank dan sebagainya. Kaum miskin
sering meminta bantuan kepada relasi sosialnya terutama kepada teman sekerja
atau tetangga. Kondisi ini menunjukkan, bahwa di antara mereka mempunyai
solidaritas yang kuat dan saling percaya. Tampaknya teman merupakan tumpuan
untuk memperoleh pertolongan dan sebagai tempat pertama yang akan dituju
apabila mereka mengalami masalah. Relasi mereka tidak hanya sebatas di bidang
ekonomi, tetapi mencakup bidang-bidang yang lain, misalnya dalam peningkatan
mental spiritual. Kegiatan ini merupakan strategi yang bersifat aktif
untuk memperoleh dukungan emosional.
BAB III
METODE PENULISAN
3.1 Metode secara umum (Berdasarkan
Pendapat Para ahli/literature).
Metode yang lazim digunakan yaitu metode ilmiah. Metode
ilmiah yaitu cara yang ditempuh melalui langkah – langkah ilmiah.
Langkah – langkah ilmiah tersebut antara lain :
- Merumuskan masalah
- Melakukan observasi/pengamatan untuk mendapatkan fakta
- Mengumpulkan data dan menyusun data untuk (organizing)
- Membuat dugaan sementara/hipothesa
- Melakukan eksperimen/percobaan untuk menguji kebenaran
hipothesa
- Analisis data dari informasi – informasi yang telah
didapat
- Menarik kesimpulan
3.2 Metode secara khusus (Berdasarkan
metode yang penulis gunakan dan berkaitan dengan judul makalah).
Metode – metode yang penulis terapkan sebagai penunjang
dalam penyelesaian makalah yang berjudul “Masalah Sosial Sebagai Inspirasi
Perubahan (Kasus Kemiskinan) dan Upaya Pemecahannya” ini adalah :
- Metode Tinjauan Pustaka
Metode tinjauan pustaka yaitu metode yang hasilnya
didasarkan atas analisis dari berbagai pustaka yang berkaitan dengan rumusan
masalah dengan tujuan menetapkan masalah tersebut. Penalaran pada tinjauan
pustaka ini didukung oleh perbendaharaan pustaka yang sesuai.
BAB IV
Upaya Penanganan Masalah Kemiskinan
Adapun upaya-upaya penanganan masalah kemiskinan antara lain
:
1. Penyediaan fasilitas umum dan sosial kepada masyarakat
kurang mampu. Misalnya, penyediaan beras murah untuk orang miskin (raskin),
pelayanan kesehatan gratis di puskesmas, fasilitas air bersih, pendidikan dasar
gratis (murah), dan listrik murah.
2. Upaya pemerintah untuk mendorong terbukanya lapangan
kerja yang lebih luas. Program raskin banyak disorot karena ada penyimpangan,
dan perlu dibenahi pengelolaannya. Masyarakat kini kian kritis sehingga
berkurangnya karung timbangan beras sebesar 0,5 kg dan jatah 20 kg dapat
menjadi berita nasional yang membuat gerah pengelola raskin. Apakah timbangan
Dolog yang rusak atau moral penimbang beras yang bobrok alias korup? Ironisnya,
malah ada raskin yang jatuh ke pedagang lalu dioplos dengan beras lain untuk
dijual di pasaran. Program pangan murah seperti raskin juga dikenal di negara
maju seperti Amerika Serikat. Hanya saja sistem manajemennya berbeda. Di sana
ada program foodstamps yakni masyarakat miskin berhak atas cek dengan nilai
uang tertentu. Cek ini dapat dibelanjakan. Untuk membeli makanan di
supermarket. Tampaknya, program semacam ini lebih tepat sasaran dan memperkecil
peluang penyelewengan. Untuk membantu masyarakat miskin, pemerintah hendaknya
segera menetapkan pelayanan dasar apa (gratis atau bersubsidi) yang akan
diberikan kepada mereka. Di bidang kesehatan, pelayanan dasar harus mencalcup
imunisasi dan upaya mengatasi penyakit yang bersifat kronis seperti TBC atau
malaria. Pengobatan penyakit kronis yang memerlukan waktu lama, khususnya bagi
orang miskin, menghendaki adanya dana bantuan dari pemerintah. Selain itu,
pelayanan kesehatan yang bersifat insidentil (di puskesmas) hendaknya juga
digratiskan. Di bidang pendidikan bebas SPP pendidikan dasar sembilan tahun
hendaknya diberlakukan di seluruh Indonesia. Jangan lagi masyarakat miskin
dibebani uang BP3 atau iuran tes hasil belajar.
3.Program penyelamatan
Program penyelamatan yang selama ini dilakukan oleh
pemerintah seperti JPS (di bidang pendidikan, pangan, kesehatan dan sosial)
tetap diperlukan untuk mengatasi kemiskinan pada tahap awal,tetapi hal itu
hanya bersifat temporer
4. Program penciptaan lapangan kerja
Usaha penciptaan lapangan kerja di segala bidang yang dapat
membantu masyarakat keluar dari kemiskinan tidak hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah tetapi juga perusahaan swasta, organisasi sosial (LSM) dan
masyarakat sendiri. Perusahaan misalnya, melalui program Corporate Social
Responsibility (CSR) melakukan mitra usaha dengan pengusaha kecil sehingga
dapat berkembang dan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat.
5. Program pemberdayaan
Program pemberdayaan dalam jangka pendek untuk mengatasi
krisis, pembangunan prasarana, penanggulangan kemiskinan di perkotaan, program
kemandirian ekonomi rakyat, program kredit usaha keluarga sejahtera, dan
sebagainya yang selama ini dilakukan pemerintah harus tetap dilanjutkan untuk
menanggulangi kemiskinan. Pemberdayaan harus meliputi semua aspek kehidupan
masyarakat (ekonomi, sosial, budaya dan politik), karena persoalan kemiskinan
adalah persoalan multidimensional. Pemberdayaan yang dimaksud bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhannya tanpa
menghambat pemenuhan kebutuhan generasi masa depan, di dalam konteks
sosial-budaya, di antara keluarga bangsa dan bangsa-bangsa yang bermartabat,
sehingga dapat terlepas dari empat dimensi kemiskinan.
Pemberdayaan ini tidak hanya ditujukan pada faktor fisik
yang nampak tetapi juga pada faktor moral yang tidak nampak, seperti modal
sosial (hubungan antar masyarakat), modal spiritual intelligence (nilai-nilai
agama), pembentukan perilaku yang kesemuanya harus dilakukan sejak usia dini.
Sikap keberpihakan pada sesama yang kekurangan yang diwujudkan dalam tindakan
nyata adalah buah dari nilai (moral dan agama) yang dianut dan kesetiaan
manusia untuk mendengar suara hati yang mampu melihat sesuatu hal dengan mata,
hati dan semangat orang lain.
Penanggulangan kemiskinan adalah tanggung jawab semua pihak,
pemerintah, organisasi sosial dan swasta, masyarakat dengan peningkatan taraf
hidup ekonomi, peningkatan mutu pendidikan serta pemberdayaan masyarakat.
Langkah pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan yang selama ini bersifat
top-down sudah saatnya dirubah karena terbukti menemui kegagalan dalam
implementasinya. Perumusan strategi penanggulangan kemiskinan harus
mengakomodasi suara rakyat yang menderita kemiskinan (bottom-up) agar program
yang dijalankan tepat sasaran dan berkelanjutan.
- Jaminan Sosial sebagai Kebijakan untuk Kemiskinan
Jaminan sosial merupakan kebijakan untuk memberikan
tunjangan pendapatan (income support) bagi masyarakat karena situasi yang
mendesak maupun situasi yang sudah diperkirakan sebelumnya (life cycle);
misalnya: tunjangan bagi orang cacat yang diakibatkan oleh kecelakaan sehingga
tidak bisa bekerja atau pensiun bagi orang yang telah memasuki usia pensiun.
Jaminan sosial mensyaratkan adanya campur tangan yang besar dari negara dalam
kebijakan sosial atau kebijakan untuk kemiskinan. Sejarah kebijakan sosial di
Inggris melaluiBeveridge Plan (1940’s) pernah mencatat situasi
dimana hidup seorang warga negara sejak lahir hingga mati (from cradle to
grave) dilindungi oleh sistim jaminan sosial (Rowlingson, 2003).
Dalam perkembangan sejarah, jaminan sosial bertujuan untuk
mengatasi kemiskinan, namun itu bukan satu-satunya tujuan (Sainsbury, 1999). Di
negara-negara industrial/post industrial seperti Inggris, Amerika, dan Norwegia,
jaminan sosial merupakan kebijakan yang tidak hanya penting untuk mengatasi
kemiskinan tapi juga untuk mencapai keadilan sosial dan kesetaraan di dalam
masyarakat (Alcock, 2006).
Sementara di negara-negara berkembang cakupan pelayanan
jaminan sosial masih sangat terbatas. Di Indonesia misalnya, jaminan sosial
universal seperti pensiun atau tunjangan kematian oleh negara hanya diberikan
kepada pegawai negeri, TNI/Polri, (Ramesh & Asher, 2000). Berbeda dengan
negara maju, di negara berkembang tujuan jaminan sosial memang lebih utama
untuk mencegah atau mengatasi kemiskinan. Jaminan sosial di negara berkembang
lebih banyak dikembangkan secara informal, melalui hubungan kekerabatan maupun
klientelistik (Hall & Midgley, 2004; Wood, 2004).
Bentuk jaminan sosial secara garis besar dapat dibagi
menjadi: asuransi sosial (social insurance), asistensi sosial (social
assistance), dana masa depan (provident fund), asuransi tenaga kerja
(employer mandates), dan tunjangan sosial (social allowances)
(Hall & Midgley, 2004).
a. Asuransi Sosial (Social Insurance)
Asuransi sosial adalah jaminan sosial yang diberikan kepada
anggota masyarakat yang tidak memiliki pendapatan karena pensiun, sakit, cacat,
veteran, dan tidak memiliki pekerjaan (pengangguran). Di negara berkembang, pada
umumnya, pengangguran tidak termasuk dalam kategori orang yang berhak
mendapatkan asuransi sosial. Dana asuransi sosial diperoleh dari kombinasi atas
kontribusi gaji pekerja, kontribusi perusahaan, dan juga kontribusi pemerintah
yang diambil dari pajak. Bentuk asuransi sosial diberikan dalam bentuk
tunjangan uang, meski di beberapa negara hal ini diberikan dalam bentuk
tunjangan kesehatan atau pelayanan sosial (di Indonesia misalnya diberikan
dalam bentuk Askes dan Askeskin). Bentuk asuransi sosial yang dikelola oleh
negara semakin berkurang dengan privatisasi asuransi sosial.
b. Asistensi Sosial (Social Asisstance)
Asistensi sosial diberikan kepada anggota masyarakat yang
tidak memiliki pendapatan minimum atau dikategorikan miskin berdasarkan
kategori yang ditetapkan oleh kebijakan (misalnya: garis kemiskinan). Dana
untuk asistensi sosial disediakan oleh pemerintah. Asuransi sosial diberikan
dalam bentuk tunai maupun barang dan fasilitas (misalnya: kupon belanja, tiket
kendaraan). Bentuk asistensi sosial ini semakin banyak digunakan dan dianjurkan
oleh institusi keuangan internasional untuk mengatasi kemiskinan di negara
berkembang, yaitu melalui bentuk social safety net(Jaring Pengaman
Sosial/ JPS), seperti program Direct Cash Transfer (DCT) atau Bantuan Langsung
Tunai (BLT). Bentuk jaminan sosial semacam ini memang ditujukan khusus bagi
kelompok masyarakat yang sangat miskin. Di Indonesia ketika terjadi kenaikan
harga BBM yang sangat tinggi di tahun 2005, pemerintah menerapkan kebijakan
pemberian subsidi BBM berupa bantuan uang tunai bagi keluarga miskin (Hastuti,
et.al, 2006); di Brazil, pemerintahan Lula membuat kebijakan tunjangan uang
bagi keluarga miskin (Bolsa Familia) (Hall, 2006). Kebijakan semacam ini sangat
populer meski kritik terhadap bentuk semacam ini juga muncul, misalnya
kebijakan semacam ini dianggap tidak menyelesaikan persoalan kemiskinan yang
struktural, tidak menggerakan sektor riil, dan potensial menjadi beban anggaran
bagi pemerintah di masa mendatang.
c. Dana masa depan (provident fund)
Dana masa depan adalah jenis asuransi yang disediakan oleh
tenaga kerja untuk jaminan diri sang pekerja itu sendiri. Dana ini diberikan
bagi pekerja tersebut pada masa pensiun; meninggal, cacat atau sakit sehingga
tidak bisa bekerja; atau untuk keperluan lain seperti untuk biaya pendidikan
anak. Skema asuransi semacam ini ditentukan oleh jumlah kontribusi (premi) yang
diberikan serta kesepakatan jaminan yang disediakan oleh perusahaan asuransi.
Jenis jaminan sosial semacam ini semakin berkembang di negara-negara yang
program asuransi sosialnya mengalami privatisasi.
d. Jaminan Perusahaan (employer mandates)
Jaminan perusahaan adalah kompensasi yang disediakan oleh
perusahaan bagi tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan (baik karena sakit,
cacat, meninggal, PHK, juga pensiun maupun cuti). Jaminan semacam ini merupakan
kebijakan pemerintah yang diterapkan bagi perusahaan. Ada banyak tantangan
untuk bisa membuat perusahaan menyediakan asuransi semacam ini. Salah satu cara
untuk mengatasinya adalah dengan menyediakan asuransi privat bagi pekerja atau
milik pemerintah, sehingga saat pekerja membutuhkan kompensasi maka dananya
akan diambil dari asuransi tersebut. Di Indonesia contoh kewajiban perusahaan
adalah menyediakan Jamsostek, meskipun dana Jamsostek sebagian juga merupakan
kontribusi dari gaji pekerja.
e. Tunjangan Sosial (Social Allowance)
Tunjangan sosial adalah jaminan sosial yang diberikan kepada
orang dengan kebutuhan atau kondisi yang memerlukan pendapatan lebih, misalnya
keluarga yang memiliki anak atau hidup dengan orang lansia. Tunjangan ini
diberikan oleh pemerintah. Tunjangan sosial berkembang di negara-negara maju.
Inggris pada masa pemerintahan partai buruh Tony Blair misalnya mengeluarkan
kebijakan khusus untuk mengatasi persoalan anak miskin (child’s poverty) dengan
memberikan Child Tax Credit (pemotongan pajak bagi keluarga
yang memiliki anak) dan Education Maintenance Allowance (tunjangan
pendapatan tambahan bagi pendidikan anak) (Ridge, 2003).
- Zakat Sebagai Instrument Pengentasan Kemiskinan
Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di
dunia, dalam diri setiap muslim tertanam kewajiban untuk menegakkan pilar Agama
Islam yang lima. Nomor tiga dari lima pilar tersebut setelah Shahadah dan Shalatadalah Zakat.
Zakat adalah Satu dari kesekian ajaran sosial Islam yang berorientasi pada
kemaslahatan kamanusiaan. Suatu bentuk ibadah Maaliyah Ijtimaiyyah yang
memiliki posisi yang sangat stategis dalam program penguatan kaum dhuafa.
Menurut Eri Sudewo, (Ketua I BAZNAS) potensi zakat ansich di
Indonesia sebesar dalam kisaran antara 1,08-32,4 triliyun pertahun, dengan
asumsi terdapat 18 juta Muslim kaya dari 80 juta Muslim yang menunaikan zakat
perbulan dengan kisaran 50-150 ribu rupiah.
Dengan potensi ideal 32,4 Triliyun pertahun, tentu saja ini
adalah angka yang besar dan belum lagi di tambah dari dana infaq, sadakah dan
wakaf. Jika potensi itu berhasil terhimpun, penulis yakin tidak akan ada orang
yang meminta-minta di tiap perempatan di jakarta. tidak akan ada orang yang
berprofesi menggalang dana umat di angkutan kota dan tidak ada cerita orang
mati karena busung lapar. Namun kenyataannya penghimpunan zakat, infaq dan
sadakah tidak lebih dari 286.412 .188.273 (Dua ratus delapan puluh enam milyar,
sekian) dari total penghimpunan dana yang dilakukan oleh organisasi pengelola
zakat di indonesia.(Data Forum Zakat, 2007).
Adanya UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Zakat, ternyata belum
bisa memaksa wajib zakat untuk menyalurkan zakatnya. Dan potensi yang 42,3
triliyun masih tinggal diangan-angan para praktisi zakat. Dengan berbagai upaya
yang terus dilakukan oleh organisasi pengelola zakat (OPZ) Indonesia yang tidak
kurang dari 242 lemabaga baik dari Badan amil zakat (BAZ) yang dibentuk oleh
pemerintah maupun lembaga amil zakat (LAZ) yang diinisiasi oleh masyarakat
kerja saling bau-membahu untuk menyadarkan sekaligus menumbuhkan kepercayaan
masyarakat dalam menunaikan zakat dan menyalurkannya lewat lembaga.
Pada titik jenuh praktisi zakat merasakan keputusasaan dalam
mengemban tugas yang sebetulnya adalah kewajiban Pemerintah. Kemiskinan adalah
monster yang muncul tidak dengan sendirinya. Kerentaan dan ketidakberdayaan
orang miskin berkelanjutan karena kontruksi sosial yang sudah membentuknya.
Kontruksi ini adalah akibat dari kebijakan Struktur Ekonomi, Politik dan Budaya
yang tidak proporsional dan memihak. Salah satu sindirannya terkait adalah “menggusur
satu rumah keluarga miskin adalah biadab. Menggusur 1000 rumah orang miskin
real estate hasilnya”.
Mengentaskan satu keluarga miskin adalah mulia, mengentaskan
100 keluarga miskin adalah tugas CSR, mengentaskan sejuta orang miskin itu
kebijakan namanya (Politik ZISWAF, 2008), kemiskinan merajalela adalah
karena kebijakan. Untuk melawan kemiskinan harus dengan kebijakan. Tanpa
kebijakan usaha untuk mengentaskan kemiskinan dari awal sudah ditakdirkan akan
gagal. Disinilah letak pentingnya sebuah instutusi pemerintah dalam melawan
kemiskinan, karean kebijakan suatu negara terletak pada “kekuasaan” yang sedang
memerintah.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian atau penjelasan dari makalah ini
maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut :
- Kemiskinan ditandai oleh kurangnya akses untuk
mendapatkan barang, jasa, asset, dan peluang penting yang menjadi hak
setiap orang.
- Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan, antara
lain : faktor individual, faktor structural, faktor keluarga, faktor
sub-budaya, faktor agensi.
- Penanganan masalah berbasis masyarakat dalam konteks
kasus kemiskinan dapat direalisasikan melalui sistem sosial yang
responsif, pemanfaatan modal sosial, pemanfaatan institusi sosial dan
optimalisasi kontribusi dalam pelayanan sosial.
- Mengembangkan sistem sosial yang responsif dapat
dilakukan dengan cara memberdayakan masyarakat.
- Upaya penanganan masalah kemiskinan dapat dilakukan
dengan cara penyediaan fasilitas umum dan sosial kepada masyarakat kurang
mampu, program penyelamatan, program penciptaan lapangan kerja, program
pemberdayaan, jaminan sosial dan zakat.
5.2 Saran
Melalui makalah, penulis akan memberikan beberapa saran yang
berhubungan dengan masalah sosial kasus kemiskinan sebagai berikut :
Upaya penanggulangan kemiskinan hingga saat ini telah banyak
dilakukan terutama sejak Indonesia mengalami krisis ekonomi dan moneter semakin
menggema dan dikenal masyarakat luas, bahkan dicari sebagian
masyarakat untuk dapat menikmati program anti kemiskinan. Penyelesaian suatu
masalah secara lebih strategik biasanya tidak kasatmata dan
memerlukan waktu. Dalam kerangka optimalisasi program penanggulangan
kemiskinan, perlu mengakomodasikan potensi keluarga miskin yang acapkali
terabaikan.
DAFTAR PUSTAKA
www.google.com
http://martindonovan91.ngeblogs.com/2009/12/04/modal-sosial-dalam-bermasyarakat/
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/03/29/memupuk-institusi-lokal-dan-modal-sosial-dalam-kehidupan-bermasyarakat/
http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/2005/gunawan.htm
http://umum.kompasiana.com/2009/04/21/adakah-kontribusi-kredit-mikro-dalam-pemberantasan-kemiskinan/
http://bamboed.wordpress.com/
http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/ekonomi/Eko41.htm
http://fareedridwan.multiply.com/journal/item/6
http://tkpkri.org/berita/berita/menilik-inisiatif-masyarakat-dalam-pengentasan-kemiskinan-%281%29-20080422423.html
http://www.masyarakatmandiri.org/cetak.php?id=122
Tidak ada komentar:
Posting Komentar