Minggu, 19 Oktober 2014

Penanganan Masalah Berbasis Masyarakat

BAB I
PENDAHULUAN
1.1        Intensitas dan Kompleksitas Masalah
Kemiskinan ditandai oleh kurangnya akses untuk mendapatkan barang, jasa, aset dan peluang penting yang menjadi hak setiap orang. Setiap orang harus bebas dari rasa lapar, harus dapat hidup dalam damai, dan harus mempunyai akses untuk mendapatkan pendidikan dasar dan jasa-jasa layanan kesehatan primer. Keluarga-keluarga miskin butuh mempertahankan kelangsungan hidup mereka dengan cara bekerja dan mendapatkan imbalan secara wajar serta seharusnya mendapatkan perlindungan yang dibutuhkan terhadap guncangan-guncangan dari luar. Sebagai tambahan, perorangan maupun masyarakat juga miskin dan cenderung terus miskin apabila mereka tidak diberdayakan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan-keputusan yang mempengaruhi hidup mereka.
Hakekat pembangunan merupakan upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.  Dalam hal ini, menempatkan arah pandang pembangunan sangat didasarkan pada paradigma yang mendasari para pengambil kebijakan di suatu negara untuk diimplementasikan.  Perkembangan pembangunan di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh teori pertumbuhan ekonomi yang memiliki resiko pada kesenjangan pembangunan baik antar daerah, maupun antara si kaya dan si miskin.  Untuk itu, dalam suatu pembangunan maka dampak negatif baik itu berupa kemiskinan maupun pengangguran merupakan faktor yang harus diselesaikan melalui skema pembangunan, bukan menjadi bagian terpisah dari pembangunan itu sendiri.
Jika dilihat dari perkembangan pembangunan di Indonesia pada awal 1970-an dan 1980-an maka fungsi ”negara pembangunan” (developmental state) merupakan pilihan model pembangunan yang dilaksanakan pada saat itu. Pembangunan dengan mengedepakna pertumbuhan ekonomi menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan sosial dan politik yang dihadapi bangsa Indonesia pada saat itu. Dampak yang muncul dengan model tersebut semakin tinginnya disparitas hasil pembangunan, karena asumsi adanya trickle down effect ternyata tidak berjalan dengan sempurna.  Pada pertengahan 1980-an hingga 2000-an, ciri-ciri negara pembangunan mulai bergeser menjadi negara minimalis, peran negara dalam ekonomi ditarik, dikurangi, atau dihapuskan. Kuatnya liberalisasi di banyak bidang menjadikan pasar bebas dianggap sebagai mekanisme dan kelembagaan sempurna yang dapat mengoreksi diri sendiri. Privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi menjadi kata-kata kunci dalam melakukan swastanisasi sektor-sektor pelayanan publik seperti di sektor perbankan, listrik, air, pendidikan, dan kesehatan. Akibatnya, dampak negatif dari pembangunan yang terjadi pada model sebelumnya semakin bertambah banyak keluarga Indonesia jatuh miskin, sekolah menjadi mahal, kesehatan sulit dijangkau, dan lapangan kerja lebih kecil ketimbang jumlah pencari kerja.
Hal ini ditunjukan dengan masih berkutat dengan tingginya angka kemiskinan.  Permasalahan kemiskinan menjadi problem sosial yang hingga saat ini belum dapat terpecahkan bagaikan lingkaran setan.  Hasil data BPS tahun 2006 menunjukkan angka kemiskinan di Indonesia bahkan cenderung mengalami kenaikan setiap periode, jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan pada Maret 2006 mencapai 39,05 juta jiwa (17,75%), meningkat 3,95 juta jiwa dari angka kemiskinan pada Maret 2005 sebesar 35,1 juta (15,97%).  Dengan semakin meningkatnya angka kemiskinan maka permasalahan sosial lainnya sebagai dampak kemiskinan juga bertambah, seperti: masalah lapangan pekerjaan, rendahnya tingkat pendidikan, meningkatnya angka kriminalitas, berkembangnya konflik-konflik sosial antar masyarakat, dan makin rendahnya akses masyarakat terhadap kebutuhan hidup.  Di samping angka kemiskinan yang disampaikan oleh BPS maka dilihat dari Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia masih sangat rendah, dibandingkan dengan kualitas manusia di negara-negara lain di dunia. Berdasarkan Human Development Report 2006 yang menggunakan data tahun 2002, Indonesia hanya menempati urutan ke-108 dari 177 negara, hal ini berimplikasi pada produktivitas manusia yang rendah yang pada tahun 2006 berada di peringkat ke-60 dari 61 negara pada tahun 2006 dalam World Competitiveness Year Book.
Akan tetapi, permasalahan kemiskinan dan pengangguran sebagai dampak pembangunan merupakan masalah bersama seluruh elemen anak bangsa yang harus segera ditangani. Oleh karenanya, upaya untuk tidak lagi mengandalkan sumber daya alam semata, tetapi melalui peningkatan peran manusia dalam pembangunan menduduki fungsi vital strategis. Apalagi di era otonomi daerah saat ini sebagian langkah tersebut berada di tangan pemerintah daerah. Peran daerah akan semakin dominan dan strategis dalam proses pembangunan nasional.
1.2        Latar Belakang Masalah
1.2.1        Penyebab Kemiskinan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan, yaitu antara lain :
1)   Faktor individual adalah bahwa kemiskinan seseorang tidak lain  disebabkan oleh orang itu sendiri, misalnya saja kemalasan dan kebodohan. Dibandingkan dengan orang Jepang atau orang Barat, orang Indonesia dinilai lebih santai (malas) dalam bekerja. Itulah sebabnya negara-negara barat dan Jepang jauh lebih kaya dan maju sedangkan Indonesia tetap menjadi negara yang miskin dan tertinggal. Hal ini bisa menjadi kaca mata analisa juga untuk melihat tetangga A yang jauh lebih miskin dibandingkan dengan tetangga B yang sama-sama menjadi tukang tambal ban. Ternyata tetangga A lebih miskin disbanding tetangga B karena dia bangun jam 7.00 pagi setelah itu minum kopi dan bersantai hingga jam 9.00 baru mulai menjalankan pekerjaannya sebagai penambal ban, lalu sudah pulang lagi ke rumah jam 20.00, sedangkan di sisi lain tetangga B sudah mulai buka tambal bannya sejak jam 6.00 pagi dan baru jam 22.00 dia tutup. Kalau kita kembali melihat para pedagang asongan dalam perjalanan tiga jam di atas, sebagian dari mereka ternyata tidak bisa digolongkan sebagai orang-orang yang malas dan kurang bekerja keras. Mereka memiliki jam kerja yang jauh lebih panjang dari para pekerja formal, dan kalau melihat bagaimana mereka selalu mengejar dan turun-naik dari satu bus ke bus yang lain, mereka bukanlah termasuk orang yang bekerja dengan setengah hati. Sehingga pertanyaannya kemudian adalah “kenapa orang yang begitu rajin dan sungguh-sungguh dalam bekerja tetap saja menjadi orang yang miskin?” tampaknya faktor kemalasan tidak bisa menjadi jawaban lagi di sini. Oleh sebab itu kita harus mulai mencari faktor-faktor penyebab lainnya. Lalu kita menemukan kobodohan; oh ternyata orang itu tidak berpendidikan sehingga ia tidak bisa mengembangkan usahanya. Lalu kita bertanya mengapa orang itu tidak berpendidikan? Mengapa dia tidak sekolah? Kenapa biaya sekolah begitu mahal? Dan kenapa sekolah A seakan-akan hanya diperuntukkan bagi anak-anak dari golongan A saja, karena anak-anak dari golongan B walau pun pintar tetap tidak bisa masuk ke sana? Kalau kita sudah sampai pada pertanyaan-pertanyaan seperti ini, maka kita merasa bahwa pendekatan individual ternyata sama sekali tidak memadahi untuk menerangkan penyebab kemiskinan. Oleh karena itu pendekatan struktural akan sangat menarik perhatian kita.
2)   Faktor struktural
Penyebab kemiskinan terutama disebabkan oleh struktur masyarakat dan negara. Jadi meliputi masalah sosial, budaya dan politik. Seringkali struktur masyarakat kita terbentuk sebagai suatu struktur yang menguntungkan sedikit orang tetapi merugikan banyak orang lainnya; ini adalah suatu struktur yang tidak adil. Di Indonesia khususnya, struktur yang tidak adil ini – atau bisa kita sebut sebagai ketidakadilan sosial – berdiri hampir di semua lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sehingga ketidakadilan itu bagaikan udara yang kita hirup setiap hari, mau tidak mau. Atau, bagaikan kekangan atau perangkap yang menentukan dan membatasi jangkauan gerak-gerik dan pengelihatan kita. Dari perspektif ini kita kemudian bisa memahami mengapa pedagang asongan itu tidak dapat keluar dari kemiskinannya; ternyata ketidakmampuannya dalam mengembangkan usahanya bukanlah semata-mata karena kesalahannya sendiri karena ia bodoh dan tak berpendidikan. Tetapi jauh lebih dalam dari itu, yang sebenarnya menyebabkan ia tidak berpendidikan dan bodoh adalah struktur masyarakat yang tidak adil dan pemerintah yang tidak peduli. Seharusnya masalah pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah, tidak memiliki uang bukan alas an bagi seseorang tidak bisa menikmati pendidikan. Pemerintah seharusnya menciptakan suatu sistem pendidikan yang memungkinkan orang yang paling miskin pun bisa menikmati pendidikan sampai ke jenjang yang paling tinggi. Bukannya malah melanggengkan diskriminasi yang membatasi kaum miskin untuk menikmati pendidikan yang sangat butuhkan dan inginkan. Kembali pada pedagang asongan tadi, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kemiskinan ternyata tidak semata-mata disebabkan oleh faktor individual melainkan terutama sebenarnya oleh faktor struktural. Dan faktor stuktural ini begitu besar mengambil peran dalam penciptaan kemiskinan, karena ia meliputi semua orang yang ada di dalamnya. Faktor ini berada di luar diri individu sehingga dalam banyak hal tidak bisa dikendalikan oleh individu tersebut, tetapi sangat mempengaruhi individu tersebut. Ia bagaikan sebuah ikatan yang menghambat seseorang untuk dapat bergerak dengan bebas; ia menjadi jurang yang menghalangi seseorang untuk melangkah mencapai tujuannya di seberang sana, ia juga menjadi batu besar yang menutupi jalan yang sedang dilalui seseorang atau menjadi beban berat yang harus dipikul oleh seseorang dalam melelusuri jalan-jalan yang terjal berbatu dan licin.
3)         Faktor keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga.
4)            Faktor sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar.
5)   Faktor agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.
Sementara itu, Arif Budiman (2000: 289) membedakan kemiskinan menjadi dua yaitu: kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan sebagai akibat karakter budaya serta etos kerja yang rendah, dan kemiskinan struktural yaitu akibat dari struktur yang timpang. Dalam hal ini, faktor penyebab kemiskinan terutama kemiskinan struktural lebih banyak menjadi bahan kajian dibandingkan faktor alamiah. Padahal jika dilihat perkembangan teknologi saat ini, kajian terhadap faktor alamiah masih bisa dimungkinan dengan melakukan rekayasa alam untuk menjadi wilayah yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakatnya.  Sementara itu, kajian terkait kemiskinan struktural oleh Selo Sumardjan (Alfian et.al, 1980: 8) dikemukakan bahwa kemiskinan struktural tidak hanya terwujud dengan kekurangan pangan tetapi juga karena kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia luar, bahkan perlindungan hukum.
Dengan banyak pengertian dan penyebab kemiskinan yang dikemukakan oleh para ahli maka untuk mengukur kriteria seseorang dapat dikatakan miskin atau tidak diperlukan ukuran yang tepat dan berlaku umum.  Hal ini yang menyebabkan adanya perbedaan penilaian tentang batas-batas garis-garis kemiskinan, sehingga masalah kemiskinan menjadi sangat normatif.
1.3        Rumusan Masalah
–   Apa faktor penyebab kemiskinan?
–   Bagaimana upaya penanggulangan kemiskinan?
–   Mengapa kemiskinan masih menjadi masalah berkelanjutan di Indonesia?
–   Bagaimana penanganan masalah berbasis masyarakat (kasus kemiskinan)?
–   Apa saja organisasi yang terlibat dalam penanganan kemiskinan ?
–   Bentuk kerjasama dan jaringan seperti apa untuk menanggulangi kemiskinan?
–   Bagaimana wujud optimalisasi kontribusi dalam pelayanan sosial (kasus kemiskinan)?
1.4        Batasan Masalah
Dari sekian ulasan masalah yang telah penulis uraikan dalam rumusan masalah bahwa masalah kemiskinan masih menjadi masalah berkelanjutan di Indonesia. Penulis akan membatasi masalah yang berkaitan dengan judul makalah yaitu “Masalah Sosial Sebagai Inspirasi Perubahan (Kasus kemiskinan) dan upaya pemecahannya”.
1.5        Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk melatih keterampilan, kecermatan, ketelitian dan kerja sama kita dalam memecahkan suatu masalah sosial yaitu kemiskinan yang berkaitan dengan ilmu sosiologi politik dan guna menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah sosiologi politik yaitu Bapak Muhammad Burhan Amin. Selain itu, penulisan ini juga bertujuan untuk melatih softskill kita dalam memperhatikan masalah social yang terjadi di masyarakat. Penelitian ini juga dapat memberikan manfaat, yaitu untuk menambah pengetahuan kita mengenai ilmu sosiologi politik khususnya tentang masalah sosial (kasus kemiskinan), sehingga kita dapat mengetahui mengapa kemiskinan bisa menjadi masalah sosial umumnya di Indonesia.
1.6        Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini yaitu dengan browsing di internet dan dengan melalui metode penjelasan dari dosen sosiologi politik.
1.7        Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan mengkaji masalah kemiskinan di Indonesia dengan segala kompleksitasnya dengan berbagai pendekatan.
BAB II
Penanganan Masalah Berbasis Masyarakat
2.1           Mengembangkan sistem sosial yang responsif
  • Memberdayakan Masyarakat dalam Menanggulangi Kemiskinan
Program-program penanggulangan kemiskinan masih belum mencapai sasaran yang optimal. Hal ini berakibat banyak proyek pembangunan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat miskin menjasi salah alamat dan tidak memecahkan masalah. Untuk itu diperlukan pemahaman dalam penanggulangan kemiskinan yang lebih melibatkan masyarakat miskin sebagai pelaku pembangunan. Masyarakat miskin tidak lagi hanya sebagai obyek yang dianggap tidak mampu sehingga tidak dilibatkan dalam proses perencanaan yang berdampak pada pelaksanaan kebijakan yang salah sasaran. Melibatkan masyarakat tidak hanya sekedar berpartisipasi namun lebih daripada itu. Masyarakat miskin diberdayakan dalam proses pembangunan utamanya dalam menanggulangi kemiskinannya. Pemberdayaan pada dasarnya merupakan suatu proses yang dijalankan dengan kesadaran dan partisipasi penuh dari para pihak untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas masyarakat sebagai sumberdaya pembangunan agar mampu mengenali permasalahan yang dihadapi dalam mengembangkan dan menolong diri menuju keadaan yang lebih baik, mampu menggali dan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia untuk kepentingan diri dan kelompoknya, serta mampu mengeksistensikan diri secara jelas dengan mendapat manfaat darinya. Pemberdayaan adalah sebuah ”proses menjadi”, bukan ”proses instan”. Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan yaitu penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan.
Tahap penyadaran, target sasaran yaitu masyarakat miskin diberikan pemahaman bahwa mereka mempunyai hak untuk menjadi berada. Di samping itu juga diberikan penyadaran bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk keluar dari kemiskinannya. Pada tahap ini, masyarakat miskin dibuat mengerti bahwa proses pemberdayaan itu harus berasal dari diri mereka sendiri. Diupayakan pula agar komunitas ini mendapat cukup informasi. Melalui informasi aktual dan akurat terjadi proses penyadaran Secara alamiah. Proses ini dapat dipercepat dan dirasionalkan hasilnya dengan  hadirnya upaya pendampingan. Tahap Pengkapasitasan, tahap ini bertujuan untuk memampukan masyarakat miskin sehingga mereka memiliki keterampilan untuk  mengelola peluang yang akan diberikan. Tahap ini dilakukan dengan memberikan pelatihan-pelatihan, lokakaya dan kegiatan sejenis yang bertujuan untuk  eningkatkan life skill dari masyarakat miskin. Pada tahap ini sekaligus dikenalkan dan dibukakan akses kepada sumberdaya kunci yang berada di luar komunitasnya sebagai jembatan mewujudkan harapan dan eksistessi dirinya. Selain memampukan masyarakat miskin baik secara individu maupun kelompok, proses memampukan juga menyangkut organisasi dan sistem nilai. Pengkapasitasan organisasi melalui restrukturisasi organiasasi pelaksana sedangkan pengkapasitasan sistem nilai terkait dengan ”aturan main” yang akan digunakan dalam mengelola peluang. Tahap Pendayaan, pada tahap ini masyarakat miskin diberikan peluang yang disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki melalui partisipasi aktif dan berkelanjutan yang ditempuh dengan memberikan peran yang lebih besar secara bertahap sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya, diakomodasi aspirasinya serta dituntun untuk melakukan self evaluation terhadap pilihan dan hasil pelaksanaan atas pilihan. Konsep pemberdayaan masyarakat dapat dikembangkan sebagai mekanisme perencanaan dan pembangunan yang bersifat bottom up yang melibatkan peran serta masyarakat dalam berbagai kegiatan perencanaan dan pembangunan. Dengan demikian, program penanggulangan kemiskinan disusun sesuai dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berarti dalam penyusunan program penanggulangan kemiskinan dilakukan penentuan prioritas berdasarkan besar kecilnya tingkat kepentingan sehingga implementasi program akan terlaksana secara efektif dan efisien. Melalui pemberdayaan, masyarakat akan mampu menilai lingkungan sosial ekonominya serta mampu mengidentifikasi bidang-bidang yang perlu dilakukan perbaikan. Tahapan selanjutnya dari pemberdayaan adalah mewujudkan masyarakat yang mandiri berkelanjutan. Mandiri adalah langkah lanjut yang rasional dari masyarakat yang telah sejahtera. Dalam kata mandiri telah terkandung pengertian ada usaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan usaha sendiri tanpa tergantung pada orang lain. Dalam pemandirian masyarakat miskin hendaknya tidak mengabaikan potensi dan kapasitas yang tersisa dalam diri maupun kelompoknya serta menghindarkan diri dari budaya cepat puas dan merasa cukup. Dalam pemandirian masyarkat miskin diajak untuk mengembangkan jejaring komunikasi sehingga mereka bisa menambah wawasan dan selalu diingatkan untuk memiliki pikiran yang maju berwawasan jauh ke depan untuk menjangkau kondisi yang lebih baik.
  • Membuat Pertumbuhan Ekonomi Bermanfaat bagi Rakyat Miskin. Pertumbuhan ekonomi telah dan akan tetap menjadi landasan bagi  Pengentasan kemiskinan. Pertama, langkah membuat pertumbuhan bermanfaat bagi rakyat miskin merupakan kunci bagi upaya untuk mengkaitkan masyarakat miskin dengan proses pertumbuhan-baik dalam konteks pedesaan-perkotaan ataupun dalam berbagai pengelompokan berdasarkan daerah dan pulau. Hal ini sangat mendasar dalam menangani aspek perbedaan antar daerah. Kedua, dalam menangani ciri kerentanan kemiskinan yang berkaitan dengan padatnya konsentrasi distribusi pendapatan di Indonesia, apapun yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat akan dapat dengan cepat mengurangi angka kemiskinan serta kerentanan kemiskinan.
  • Membuat Pengeluaran Pemerintah Bermanfaat bagi Rakyat Miskin. Di samping pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial, dengan menentukan sasaran pengeluaran untuk rakyat miskin, pemerintah dapat membantu mereka dalam menghadapi kemiskinan (baik dari segi pendapatan maupun non-pendapatan). Pertama, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk membantu mereka yang rentan terhadap kemiskinan dari segi pendapatan melalui suatu sistem perlindungan sosial modern yang meningkatkan kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi. Kedua, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk memperbaiki indikator-indikator pembangunan manusia, sehingga dapat mengatasi kemiskinan dari aspek non-pendapatan. Membuat pengeluaran bermanfaat bagi masyarakat miskin sangat menentukan saat ini, terutama mengingat adanya peluang dari sisi fiskal yang ada di Indonesia saat kini.
2.2        Pemanfaatan Modal sosial
Modal sosial merupakan kekuatan yang mampu membangun civil community yang dapat meningkatkan pembangunan partisipatif, dengan demikian basis modal sosial adalah trust, idiologi dan religi. Modal sosial dapat dicirikan dalam bentuk kerelaan individu untuk mengutamakan keputusan komunitas, Dampak dari kerelaan ini akan menumbuhkan interaksi kumulatif yang menghasilkan kinerja yang mengandung nilai sosial.
Francis Fukuyama (1995) mengilustrasikan modal sosial dalam trust, believe and vertrauen artinya bahwa pentingnya kepercayaan yang mengakar dalam faktor kultural seperti etika dan moral. Trust muncul maka komunitas membagikan sekumpulan nilai-nilai moral, sebagai jalan untuk menciptakan pengharapan umum dan kejujuran. Ia juga menyatakan bahwa asosiasi dan jaringan lokal sungguh mempunyai dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi dan pembangunan lokal serta memainkan peran penting dalam manajemen lingkungan. James S, Colement (1998) menegaskan bahwa, modal sosial sebagai alat untuk memahami aksi sosial secara teoritis yang mengkombinasikan perspektif sosiologi dan ekonomi. Pengertian ini dipertegas oleh Ismail Serageldin (1998) bahwa modal sosial selalu melibatkan masyarakat dan menjadikan masyarakat muncul bukan semata dari interaksi pasar dan memiliki nilai ekonomis.
Inti dasar pemikiran modal sosial adalah bahwa hubungan atau jaringan sosial mempunyai nilai.  Modal sosial menunjuk pada nilai kolektif dari semua hubungan atau jaringan sosial dan kecenderungan yang timbul dari hubungan atau jaringan ini untuk saling berbuat sesuatu (ada norma hubungan timbal balik).
Modal sosial tak hanya menekankan kehangatan dan rasa menyayangi, tetapi suatu variasi yang luas dari manfaat yang sangat spesifik yang mengalir dari kepercayaan, hubungan timbal balik, informasi dan kerjasama kemitraan dalam hubungan atau jaringan kerja sosial. Modal sosial menciptakan nilai untuk masyarakat yang terhubungkan (termasuk yang tak terlibat kecuali sekadar menjadi penonton). Modal sosial, menunjuk pada institusi, hubungan dan norma yang membentuk kualitas dan kuantitas interaksi sosial suatu masyarakat. Peningkatan bukti menunjukkan bahwa kohesi/kepaduan sosial begitu pentingnya bagi masyarakat dalam ikhtiar pemakmuran ekonomi dan keberlanjutan pengembangannya. Modal sosial bukan sekadar penjumlahan institusi yang menyokong sebuah masyarakat, lebih dari itu, ia adalah perekat yang mengikat mereka secara bersama.
Modal sosial berlangsung melalui: aliran informasi (contoh pembelajaran keahlian kerja, pertukaran ide di kampus dsb), norma hubungan timbal balik atau kerjasama mutual (menghubungkan masyarakat sejenis yang berlangsung terus menerus), tindakan kolektif (contoh peran yang dimainkan gereja kaum hitam dalam memperjuangkan hak-hak sipil), solidaritas yang didukung hubungan sosial yang menerjemahkan mentalitas “Aku” menjadi mentalitas “Kami”.
Contoh modal sosial dalam kehidupan sehari-hari: masyarakat tingkat Rukun Tetangga di sebuah pemukiman yang secara informal mengawasi rumah tetangganya ketika musim mudik Lebaran, ini adalah modal sosial yang dilakukan dalam bentuk tindakan. Atau saat kebakaran melanda pasar Tanah Abang, Jakarta, paguyuban keluarga Minang misalnya, membuka Pos Kemanusiaan (sekaligus pos pemulihan ekonomi) bagi pedagang korban kebakaran asal Minang atau orang Minang.
Dusun Poton, sebuah kampung di pinggiran kota Yogyakarta, juga menunjukkan contoh andil modal sosial dalam mengentaskan kemiskinan. Seorang janda tua, Mbok Kromo (70), asalnya seorang tunawisma. Suaminya yang buruh tani meninggal tanpa mewariskan harta apapun. Anaknya meninggal pula ketika masih bayi karena sakit yang tidak terobati. Mbok Kromo, janda rabun yang sedang menderita sakit ini, dalam perjalanan mencari persinggahan terakhir tiba di dusun Poton dan mendapat sambutan yang ramah dari warga Poton. Warga memberinya tanah, bergotong-royong membangunkan gubuk. Sebenarnya, sebagai janda tua dan rabun, ia punya potensi kuat menjadi pengemis, tetapi sikap beradab warga dusun Poton mendorongnya menunjukkan kemampuannya bekerja – semampunya, bukan tercampak menadahkan tangan di jalanan.
Contoh modal sosial lainnya dapat ditemukan dalam jaringan pertemanan, pertetanggaan, masjid, sekolah, asosiasi warga masyarakat, klub beladiri dan sebagainya. Motto “di mana setiap orang tahu nama anda” menangkap satu aspek penting dari modal sosial. Dampak modal sosial memberi efek pada transaksi ekonomi, produksi, loyalitas dan kesediaan untuk menanggung resiko bahkan bencana yang besar.
Modal sosial selain mempunyai sisi positif juga memiliki sisi negatif. Modal sosial dapat menjadi suatu perangkap dan alat yang berpengaruh kuat terhadap terjadinya ketidakmajuan bahkan pemiskinan seseorang atau sekelompok orang. Modal sosial dapat menjadi suatu pembatas sosial bagi seseorang untuk keluar atau masuk dari suatu kelompok. Kegiatan-kegiatan kolusi dan nepotisme pun seringkali lahir karena orang cenderung menggunakan relasi-relasi primordial. Sisi negatif lain dari modal sosial adalah biaya. Biaya-biaya ini merupakan konsekuensi dari pemeliharaan kebersamaan dan ikatan dalam kelompok. Dalam kasus-kasus tertentu seperti sindikat mafia, biaya yang harus ditanggung bahkan berupa nyawa atas kesetiaan terhadap kelompok. Sisi gelap modal sosial juga ditujukan pada kelompok atau jaringan yang punya tujuan yang berlawanan dengan tujuan masyarakat umum (contoh kartel narkoba, sindikat penipuan dsb)
Modal Sosial dan Masyarakat Indonesia
Hasil survey yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN (kini UIN Syarif Hidyaatullah Jakarta) di 16 provinsi di Indonesia menunjukkan, intrepersonal trust di antara warga kita amat rendah. 86 % (dari 2.017 sampel responden), umumnya masyarakat Indonesia merasa harus berhati-hati dengan yang lainnya, atau tidak mudah percaya. Ini berarti, betapa dominan sikap saling curiga antar warga masyarakat kita dalam kehidupan sosial mereka (Mujani dan Jamhari, 2002). Proporsi yang cukup besar dalam kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan lembaga-lembaga agama seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) ternyata belum cukup bisa membantu menjembatani hubungan antar warga dalam membangun rasa saling percaya dan sikap toleran. Tegasnya, institusi keagamaan di mana warga sanggup berasosiasi dan berkiprah sukarela, belum cukup kuat mentransformasikan nilai-nilai keadaban (civility), salah satunya: trust ke dalam perilaku pengikut-pengikutnya. Modal sosial di Indonesia justru berkembang dalam sisi gelapnya. Contohnya dominasi praktik kolusi-nepotisme dan berbagai bentuk praktik mafia. Akar praktik kolusi-nepotisme adalah kuatnya tradisi anak penguasa yang selalu memperoleh kemudahan berusaha karena jaringan kekuasaan yang dibangun oleh orangtua mereka. Anak penguasa memperoleh secara mudah segenap faktor modal sosial karena statusnya. Lancarnya transaksi sosial berarti penghematan besar dalam transaksi ekonomi. Dengan modal sosial yang kuat mereka tak mengeluarkan sepeserpun untuk berusaha.
v     Ismail Serageldin memberikan klasifikasi modal sosial antara lain:
  • Modal sosial dalam bentuk interaksi sosial yang tahan lama tetapi hubungan searah, seperti pengajaran dan perdagangan sedang interaksi sosial yang hubungannya resiprokal (timbal balik) seperti jaringan sosial dan asosiasi.
  • Modal sosial dalam bentuk efek interaksi sosial lebih tahan lama dalam hubungan searah seperti kepercayaan, rasa hormat dan imitasi sedang dalam bentuk hubungan timbal balik seperti gosip, reputasi, pooling, peranan sosial dan koordinasi, semua ini mengandung nilai ekonomi yang tinggi.
v     Modal sosial untuk kasus kemiskinan dapat dibagi menjadi 2 secara garis besar, yaitu antara lain :
  • Modal fisik
Setiap manusia dianugerahi allah dengan tampilan yang sempurna secara fisik walaupun ada juga yang tidak sempurna. Fisik yang kita miliki dapat kita gunakan untuk bekerja. Sehingga dengan bekerja dapat menghindarkan seseorang masuk ke dalam garis kemiskinan. Kemiskinan juga ditimbulkan karena penampilan fisik yang kurang sempurna atau dalam arti lain cacat. Contohnya para pengemis jalanan yang sering ditemui di lampu merah. Mereka ada yang buta, bahkan kakinya cacat. Karena merasa mempunyai keterbatasan fisik, akhirnya mereka mengemis di jalanan seperti itu.
  • Modal financial
Modal financial/keuangan sangat penting untuk kasus kemiskinan. Dengan modal financial suatu Negara dapat mengatasi kasus kemiskinan. Tanpa adanya modal financial kasus kemiskinan menjadi lambat dalam penanganannya. BLT,Raskin,Subsidi silang,BOS, semua itu dapat terealisasi karena adanya modal financial yang menunjangnya.
v     Kaitan antara modal sosial dengan kemiskinan
Dalam kajiannya mengenai berbagai institusi lokal di Bolivia, Burkina Faso dan Indonesia Grootaert (2001) berkesimpulan bahwa di ketiga negara tersebut secara konsisten terdapat indikasi kuat bahwa modal sosial mampu secara signifikan mengurangi kemungkinan orang jatuh miskin. Richard Rose (1999) dalam analisis empirisnya mengenai Rusia juga menemukan hal serupa, yakni bahwa modal sosial mampu mendorong kesejahteraan individu. Harry Goulbourne (2006) menemukan kebiasaan unik pada masyarakat Karibia. Mereka yang berada di luar negeri memiliki kebiasaan mengirimkan uang kepada sanak-familinya yang tinggal di Karibia sebagai wujud konkret ikatan transnasional mereka. Ikatan transnasional ini pun pada gilirannya juga akan berdampak ekonomis bagi orang-orang yang menerima kiriman uang tersebut. Grameen Bank yang didirikan oleh Muhamad Yunus di Bangladesh tahun 1976 merupakan contoh positif bagaimana modal sosial mampu menolong jutaan rakyat miskin di sana untuk keluar dari kemiskinan. Singkatnya, para peneliti dan praktisi pembangunan sepakat bahwa modal sosial merupakan sebuah alat untuk mengurangi kemiskinan. Namun demikian, pengaruh positif yang diberikan oleh modal sosial dalam penciptaan kesejahteraan individu dan keluarga tidak terjadi secara langsung. Dalam konteks kesejahteraan ekonomi, modal sosial tersebut mempengaruhi kesejahteraan melalui akses terhadap kredit, akumulasi aset, dan aksi kolektif (Grootaert, 1999). Secara implisit, ini menunjukkan bahwa networking sebagai bentuk modal sosial memiliki peran signifikan bagi penciptaan kesejahteraan individual, terutama bagi orang miskin yang tidak memiliki modal ekonomi karena dalam networking tersebut sering kali “tersedia” akses-akses terhadap berbagai kredit, informasi, dan sebagainya. Tak salah bila Putnam mengemukakan pentingnya hubungan dan jejaring sosial sebagai jalan orang dan masyarakat berpendapatan rendah untuk mentas dari kemiskinan (bdk. DeFillipis).10
2.3        Pemanfaatan Institusi Sosial
v  Organisasi Masyarakat
1)   BAZIS (Badan Amil Zakat, Infak, dan Sedekah) sebagai institusi keagamaan perlu digerakkan lagi sehingga gaungnya tidak hanya muncul di tingkat kabupaten atau provinsi, tetapi harus merambah sampai bawah seperti RT/ RW. Pengelolaan BAZIS harus transparan, bila BAZIS tingkat RT/RW diberi otonomi untuk mengelola sendiri dana yang dikumpulkan. Dengan demikian BAZIS ini dapat menolong masyarakat di lingkungannya sendiri. Sangat disayangkan, BAZIS seolah baru menampakkan gerakannya menjelang Lebaran berupa pengumpulan zakat fitrah. Pada hal potensi zakat mal (harta) seharusnya juga digali sehingga dapat memberi manfaat lebih besar pada masyarakat miskin. Alokasi dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) tentunya jangan dibatasi untuk hal-hal yang bersifat keagamaan saja tetapi juga untuk menghidupkan roda ekonomi masyarakat miskin dengan cara memberi bantuan modal. Selain itu dana ZIS bisa diberikan dalam wujud beasiswa bagi siswa-siswi dan keluarga miskin. Organisasi masyarakat sipil seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), para peneliti, dan kalangan akademisi pemerhati isu-isu reformasi sektor keamanan (SSR)
2)   Gerakan Kemanusiaan – Bandung Peduli. Gerakan / organisasi ini dibentuk pada tanggal 23 – 25 Februari 1998. Bandung Peduli adalah gerakan kemanusiaan yang memfokuskan kegiatannya pada upaya menolong orang kelaparan, dan mengentaskan orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam melakukan kegiatan, Bandung Peduli berpegang teguh pada wawasan kemanusiaan, tanpa mengindahkan perbedaan suku, ras, agama, kepercayaan, ataupun haluan politik.
3)   Banking of the poor
Bentuk ini mendasarkan diri pada saving led microfinance, dimana mobilisasi keuangan mendasarkan diri dari kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat miskin itu sendiri. Bentuk ini juga mendasarkan pula atas membership base, dimana keanggotaan dan partisipasinya terhadap kelembagaan mempunyai makna yang penting. Bentuk-bentuk yang telah terlembaga di masyarakat antara lain : Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Kelompok Usaha Bersama, Credit Union (CU), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), dll
4)   Banking with the poor
Bentuk ini mendasarkan diri dari memanfaatkan kelembagaan yang telah ada, baik kelembagaan (organisasi) sosial masyarakat yang mayoritas bersifat informal atau yang sering disebut Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) serta lembaga keuangan formal (bank). Kedua lembaga yang nature-nya berbeda itu, diupayakan untuk diorganisir dan dihubungkan atas dasar semangat simbiose mutualisme, atau saling menguntungkan. Pihak bank akan mendapat nasabah yang makin banyak (outreaching), sementara pihak masyarakat miskin akan mendapat akses untuk mendapatkan financial support. Di Indonesia, hal ini dikenal dengan pola yang sering disebut Pola Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK).
v   Organisasi Swasta
1)   Lembaga Swadaya Masyarakat (disingkat LSM) adalah sebuah organisasi yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya. Organisasi ini dalam terjemahan harfiahnya dari Bahasa Inggris dikenal juga sebagai Organisasi non pemerintah (disingkat ornop atau ONP (Bahasa Inggrisnon-governmental organizationNGO). Berdasarkan Undang-undang No.16 tahun 2001 tentang Yayasan, maka secara umum organisasi non pemerintah di indonesia berbentuk yayasan.
2)   Organisasi donor, adalah organisasi non pemerintah yang memberikan dukungan biaya bagi kegiatan ornop lain.
3)   Organisasi mitra pemerintah, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan bermitra dengan pemerintah dalam menjalankan kegiatanya.
4)   Organisasi profesional, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan berdasarkan kemampuan profesional tertentu seperti ornop pendidikan, ornop bantuan hukum, ornop jurnalisme, ornop kesehatan, ornop pengembangan ekonomi dll.
5)   Organisasi oposisi, adalah organisasi non pemerintah yang melakukan kegiatan dengan memilih untuk menjadi penyeimbang dari kebijakan pemerintah. Ornop ini bertindak melakukan kritik dan pengawasan terhadap keberlangsungan kegiatan pemerintah
6)            Yayasan Arek Lintang (Alit) Surabaya. Hanya, inisiatif anti kemiskinan Alit bergerak di bidang kesehatan. Yaitu, berupa upaya untuk menghapus diskriminasi pelayanan kesehatan warga miskin. Sasarannya adalah peningkatan akses terhadap program jaminan perawatan kesehatan masyarakat miskin (JPKMM). Selain itu, telah dilakukan pula peningkatan pemberdayaan peran keluarga miskin, dan bantuan bagi keluarga fakir miskin dalam bentuk kelompok usaha bersama (KUBE) bagi 545.219 KK melalui 50.000 KUBE dan 95 Lembaga Keuangan Mikro KUBE Sejahtera. Sementara itu, terhadap 1,9 juta penyandang cacat dan 365,9 ribu anak cacat, telah dilaksanakan pula rehabilitasi dan perlindungan sosial, termasuk penyempurnaan sarana dan prasarana pusat rehabilitasi dan panti cacat. Sedangkan terhadap kelompok tuna sosial yang meliputi 87,5 ribu wanita tuna susila, 59,1 ribu gelandangan dan 8,2 ribu gelandangan penderita HIV/AIDS, 18,2 ribu bekas warga binaan lembaga permasyarakatan, serta 28,3 ribu pengemis, telah dilaksanakan pelayanan dan rehabilitasi sosial. Demikian pula telah dilaksanakan penyempurnaan sarana dan prasarana panti tuna sosial. Sedangkan kepada para korban bencana sosial diberikan bantuan tanggap darurat, termasuk bantuan pemulangan/terminasi.
7)   Badan Konsultasi untuk Membantu Masyarakat Paling Miskin (CGAP) diresmikan pada bulan Juni 1995 untuk merangsang lebih banyak lagi pemberian pinjaman dan dukungan kredit mikro untuk masyarakat yang sangat miskin. Pada akhir tahun 1995, 16 negara donor bergabung dengan CGAP, dan memilih sekretariat yang berlokasi di Bank Dunia. CGAP dipimpin oleh Mohammad Yunus dari Bank Grameen. Kebanyakan anggotanya berasal dari agen-agen pembangunan bilateral dan multilateral, walaupun yayasan-yayasan dan individu-individu dapat secara langsung bergabung apabila menyediakan uang sebanyak US$ 250.000 untuk sekretariat dan menyerahkan sedikitnya US$ 2 juta untuk pembiayaan mikro. Badan Penasihat Kebijakan (PAG) dimaksudkan menyiapkan arahan dan saran untuk CGAP dan sekretariat. CGAP didirikan dengan dana awal US$ 30 juta dari Bank Dunia dan mengharapkan US $ 200 juta dolar lainnya dapat dikumpulkan oleh donor-donor lain. Prioritas utama CGAP adalah mendukung institusi finansial, yang dapat menggunakan dana tambahan melalui usaha-usaha komersial. CGAP juga diharapkan menjadi institusi yang dapat memfasilitasi usaha-usaha “awal – pendahuluan” oleh institusi-institusi lain dan menjadi katalisator terhadap program-program inovatif pada para peminjam lain dan bagian lain dari Bank Dunia. CGAP dijadwalkan memulai kegiatannya pada Februari 1996, dan terlalu dini untuk memprediksi seberapa tingkat keberhasilan usaha tersebut akan tercapai. Setelah Bank Grameen sukses di Bangladesh, pendekatan menyeluruh terhadap target kredit mikro untuk masyarakat paaling miskin semakin diperluas. Pada hal-hal tersebutlah Bank Dunia memperkenalkan dan mendukung model pembangunan “dari bawah ke atas” dan mendapat catatan khusus. Pada sisi yang lain, beberapa pengamat meragukan CGAP akan selalu high profile, tetapi akhirnya kecil, usaha yang dilakukan Bank Dunia secara signifikan tidak akan mempengaruhi pendekatan utamanya terhadap kemiskinan dalam pembangunan.
8)            Grameen Bank (GB) mengedepankan microcredit sebagai kebijakan bagi masyarakat marginal, terutama perempuan. GB adalah Bank yang dikelola secara independen oleh warga miskin dan menolak intervensi sistem perbankan konvensional karena secara ideologis, GB berposisi di kiri terkait dengan preferensi pada kesejahteraan nasabah-nasabahnya sebagaimana konsepsi koperasi. Namun GB tidak anti kanan karena tidak menolak globalisasi dan pasar bebas asal mengikutsertakan si miskin. Jalan tol globalisasi tidak seharusnya dikuasai oleh truk-truk raksasa negara-negara maju dengan menyingkirkan becak-becak di negara dunia ketiga. Kredit mikro didasari asumsi bahwa kewirausahaan tidak harus melulu profit, melainkan sebuah investasi yang digerakkan oleh kesadaran sosial.
2.4        Optimalisasi Kontribusi Dalam Pelayanan Sosial
Penyediaan layanan sosial bagi rakyat miskin baik oleh sektor pemerintah ataupun sektor swasta-adalah mutlak dalam penanganan kemiskinan di Indonesia. Pertama, hal itu merupakan kunci dalam menyikapi dimensi non-pendapatan kemiskinan di Indonesia. Indikator pembangunan manusia yang kurang baik, misalnya Angka Kematian Ibu yang tinggi, harus diatasi dengan memperbaiki kualitas layanan yang tersedia untuk masyarakat miskin. Hal ini lebih dari sekedar persoalan yang bekaitan dengan pengeluaran pemerintah, karena berkaitan dengan perbaikan sistem pertanggungjawaban, mekanisme penyediaan layanan, dan bahkan proses kepemerintahan. Kedua, ciri keragaman antar daerah kebanyakan dicerminkan oleh perbedaan dalam akses terhadap layanan, yang pada akhirnya mengakibatkan adanya perbedaan dalam pencapaian indikator pembangunan manusia di berbagai daerah. Dengan demikian, membuat layanan masyarakat bermanfaat bagi rakyat miskin merupakan kunci dalam menangani masalah kemiskinan dalam konteks keragaman antar daerah.
v  Optimalisasi sumber daya manusia (SDM)
Strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk  peningkatan penghasilan karena tuntutan hidup yang semakin besar. Berbagai bentuk strategi yang dibangun oleh keluarga fakir miskin antara lain: melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan atau mengerahkan anggota keluarga untuk memperoleh penghasilan. Berdasar hasil skoring, strategi ini memperoleh nilai 2,70. Secara numerik angka ini menunjukkan, bahwa strategi dimaksud sering dilakukan. Bahkan dalam strategi ini, sebagian dari mereka adalah anak yang masih duduk di bangku sekolah. Jika rata-rata dalam keluarga mempunyai 5 orang anggota, maka kondisi ini merupakan potensi yang relatif besar untuk mengakses uang.
v   Optimalisasi peran sosial Bank Syari’ah dalam mengentaskan kemiskinan
Dengan berbagai perangkat nilai yang bersumber dari wahyu dan sistem manajerial yang memiliki keberpihakan sosial, bank Syari’ah memiliki komitmen untuk mendistribusikan kesejahteraan yang menjadi hak dasar umat manusia. Dengan kata lain bank Syari’ah hendak mengentaskan kemiskinan yang menjadi yang bersumber dari ketidakadilan struktur dan sistem yang ada. Oleh karena itu secara konseptual banyak ditemukan perangkat-perangkat lunak (software) dari Bank Syari’ah yang secara inheren memiliki misi mengentaskan kemiskinan dan mendistribusikan kesejahteraan.
Misi dan keberpihakan sosial yang terdapat pada bank Syari’ah paling tidak terkandung dalam nomenklatur dan terminologi yang menjadi aturan main atau mekanismenya. Konsep-konsep seperti muzara’ah, mudharabah, musyarakah, qardhul hasan, ijarah, murabahah dan lain sebagainya, secara filosofis mengandung makna yang sangat dalam akan komitmen dan visi sosial bank Syari’ah. Pemahaman seperti ini mengindikasikan bahwa kemiskinan dan ketidak adilan merupakan hal yang tidak ada akarnya dalam Islam. Oleh karena itu sudah saatnya bank Syari’ah melakukan optimalisasi terhadap peran-peran sosialnya dalam rangka ikut menyelesaikan permasalahan ini yang semakin hari semakin meningkat. Terdapat formulsai menarik yang dirumuskan oleh Muhammad Akram Khan, menurutnya, strategi yang bisa dilakukan oleh seluruh kaum Muslimin secara global dalam rangka memerangi kemiskinan saat ini adalah sebagai berikut; Pertama, strategi Islam untuk memerangi kemiskinan sudah semestinya diorientasikan kepada pengembangan kapasitas produktif dari masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan-pelatihan keterampilan. Kedua, masyarakat yang diberdayakan sepatutnya tidak tercerabut dari akar kulturnya dan mereka diberi kesempatan untuk mengambil keputusan-keputusan yang terkait dengan diri mereka sendiri. Cara tersebut akan menjadi insentif bagi pengembangan diri (self development) dan menjadikan mereka terlibat dalam proses pemberdayaan. Ketiga, pembiayaan mesti disediakan melalui kerjasama bank-bank berbasis profit loss sharing. Masyarakat harus menyediakan akses sumber-sumber fisik dan organisasi publik dengan mendorong orang-orang yang diberdayakan untuk mengorganisasikan diri ditempat mereka tinggal.Keempat, proses pemberdayaan sebaiknya tidak menggunakan dana pinjaman berbunga dari negara lain, sekalipun untuk langkah-langkah yang bersifat ad hoc, namun seharusnya mendorong kerjasama antara kerjasama antar negara dengan dasar partisipasi sejajar (equity participation) dalam usaha bersama atau dalam bentuk pinjaman tanpa bunga. Kelima,yang terpenting dari itu semua, sistem zakat dalam Islam dapat menyediakan keamanan sosial pada tingkat lokal. Masyarakat ditingkat lokalitas harus dapat menorganisasikan dengan rapih sehingga mereka dapat menyisihkan sebagian dari kekayaan mereka untuk merehabilitasi orang-orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam sistem keamanan sosial, keluarga adalah unsur paling utama untuk proses pemberdayaan ini, bila keluarga tidak mampu maka komunitas lokal diharuskan mengambil alih tanggung jawab tersebut. Berangkat dari strategi tersebut, tampaknya Bank Syari’ah telah memiliki modal sosial (social capital) yang kokoh untuk ikut mengentaskan kemiskinan. Modal sosial yang dimaksud adalah kepercayaan masyarakat terhadap bank Syari’ah yang semakin tinggi, sistem yang anti bunga, berpihak terhadap keadilan dan kesejahteraan bersama, dan yang paling penting adalah visi dan keberpihakan sosialnya yang menjadi ruh dalam setiap aktifitasnya. Dengan berbagai perangkat dan kekuatan yang dimilikinya, bank syari’ah memiliki peluang yang cukup besar untuk membuktikan kiprah sosialnya di negeri Indonesia ini. Apalagi sejak kelahirannya pada tahun 1991 sampai dengan sekarang. pertumbuhannya mengalami peningkatan yang sangat pesat. Mengutip pandangan Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanuddin Abdullah, bahwa sampai dengan tahun 2010 nanti jumlah kantor cabang bank-bank Syariah diperkirakan akan mencapai 586 cabang. Prospek perbankan Syariah di masa depan diperkirakan juga akan semakin cerah. Hal senada di kemukakan oleh Asosiasi Asuransi Syariah di Indonesia, menurut catatan lembaga ini tingkat pertumbuhan ekonomi Syariah selama 5 tahun terakhir mencapai 40 persen, sementara asuransi konvensional hanya 22,7 persen. Modal sosial dan pesatnya perkembangan bank Syari’ah semestinya menjadikan lembaga keuangan Islam ini mengoptimalkan peran-peran sosialnya terhadap masyarakat ditataran akar rumput dalam rangka mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Bertitik tolak dari formulasi yang ditawarkan oleh Muhammad Akram Khan, terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh bank Syari’ah dengan melihat kondisi objektif negeri ini. Pertama, harus dipahami bahwa kondisi perekonomian Indonesia adalah ekonomi kerakyatan. Oleh karena itu sudah saatnya perbankan Syariah mulai melirik untuk menjalin kerjasama dengan UKM yang berada ditengah-tengah masyarakat. Pihak perbankan sebagai lembaga keuangan penggerak roda ekonomi harus mulai menggeser konsep perbankan sekarang yang cenderung lebih berani untuk bermain di sektor bisnis kelas tinggi. Perbankan Syariah harus mulai merangkul UKM-UKM yang ada sebagai mitra kerja untuk membangkitkan kembali perekonomian Indonesia yang lesu.  Untuk mengurangi resiko usaha, perbankan Syariah perlu memperhatikan 3 kunci penting, yaitu penentuan produk yang dapat dipasarkan, inovasi teknologi dan pendampingan terhadap UKM.  Dalam perjalanan usahanya, UKM perlu didampingi oleh tenaga-tenaga pendamping dari perbankan Syariah yang diharapkan dapat memberikan motivasi,memanage konflik dan turut membangun perekonomian rakyat. Kedua, untuk langsung menyentuh lapisan terbawah dari masyarakat sekaligus melakukan misi sosialisasi, bank Syari’ah dapat melakukan  pelatihan dan pendidikan bagi masyarakat yang diharapkan dapat mencetak entrepreneur-entrepreneur yang handal dan kompetitif. Para entrepreneur tersebut dikondisikan untuk loyal terhadap pihak perbankan Syariah, sehingga mereka dapat dibentuk menjadi para pelaku ekonomi Syari’ah dimasa yang akan datang. Dalam merealisasikan startegi ini, bank Syari’ah dapat menjalin kerjasama dengan perguruan tinggi atau lembaga yang terpercaya dan berkompeten dalam bidang pendidikan dan pelatihan kewirausahaan. Untuk kedepannya nanti, produk dari pendidikan dan pelatihan ini diharapkan dapat mengurangi angka pengangguran dan menumbuhkan kembali perekenomian di Indonesia. Ketiga, mengoptimalkan peran Qardhul Hasan yang bisa diambil dari dana Zakat, Infaq dan Shadaqah sebagai basis dana untuk usaha-usaha produktif. Sudah saatnya potensi keuangan yang tersimpan tidak lagi menjadi dana konsumtif, akan tetapi potensi besar itu seharusnya dijadikan modal dan dikelola menjadi dana-dana yang produktif. Dan Sudah saatnya ada perubahan paradigma yang selalu memperlakukan potensi dana yang konsumtif menjadi perlakuan yang produktif.
v   Optimalisasi kontribusi BOS (Bantuan Operasional Sekolah)
Dua inisiatif bidang pendidikan berkaitan dengan program bantuan operasional sekolah (BOS). Pemerintah pusat kali pertama meluncurkan BOS pada 2005. Cita-cita luhur program itu adalah meningkatkan akses siswa miskin untuk terus bersekolah. Dengan mengalokasikan BOS ke semua sekolah setingkat SD dan SMP di negeri ini, siswa miskin akan bebas dari biaya pendidikan. Sementara yang lain semakin teringankan. Kenyataan berkata lain. Sejak tahun pertama sejumlah penyimpangan menyertai pelaksanaan BOS. Kejanggalan seperti adanya ketidaksesuaian dengan RAPBS (rancangan anggaran pendapatan dan belanja sekolah) banyak dilakukan sekolah-sekolah. Lainnya adalah ketiadaan transparansi, masih adanya kenaikan SPP, dan pungutan lain (Jawa Pos, 9 Januari 2006). Yang paling kontroversial, pungutan sekolah jadi lebih besar setelah ada BOS. Tentunya situasi itu sangat memberatkan siswa dari kalangan tidak mampu. Kondisi serupa terjadi di Kota Malang. Bermodal temuan-temuan penyimpangan BOS, Pusat Telaah Informasi Regional (Pattiro) Malang tergerak untuk mencari akar masalah dan solusinya. Hingga, ditemukan jawaban berupa penguatan penyusunan RAPBS. Isunya bukan sekadar memenuhi standar teknis semata, tapi bermuatan partisipasi dan berpihak pada siswa miskin. Berkat upaya intensif Pattiro dan kooperatifnya Dinas Pendidikan Kota Malang, inisiatif itu berbuah manis. Keberpihakan sekolah kepada siswa miskin menjadi lebih baik. Contohnya, pada penerimaan siswa baru (PSB) 2007 ini, sejumlah sekolah di Malang membebaskan biaya siswa miskin. Bahkan, ada sekolah yang rela merevisi RAPBS untuk mengakomodasi ketidakmampuan orang tua siswa. Masyarakat pun menjadi semakin berani untuk mengadu bila terjadi penyimpangan BOS. Komitmen lain pun bermunculan. Pedoman penyusunan RAPBS yang disusun Pattiro bersama komunitas sekolah dan pihak dinas dijadikan sebagai acuan. Dinas juga membuka pos pengaduan untuk keluhan pelayanan pendidikan. Seperti pada masa PSB, wali kota berkomitmen bahwa tidak boleh ada pencoretan dalam PSB karena ketidakmampuan membayar siswa. Inisiatif serupa dijalankan di Surabaya oleh Pengurus Wilayah Nasyiyatul Aisyiyah (PWNA) Jawa Timur. Bedanya, penguatan RAPBS dilakukan terhadap sekolah-sekolah swasta. Pada mulanya program itu dipicu alokasi dana BOS yang tidak adil karena diberlakukan bagi semua siswa, bukan hanya siswa miskin. Kenyataan di sekolah swasta, pemasukan dari siswa merupakan nyawa bagi keberlangsungan proses belajar-mengajar. Artinya, siswa miskin ikut menanggung beban yang sama dengan siswa dari kalangan mampu. Dengan menggandeng majelis Dikdasmen Muhammadiyah Jatim dan sekolah-sekolah swasta lain, PWNA berhasil menyusun RAPBS partisipatif. Tentunya yang berpihak pada siswa miskin. PWNA juga berhasil menyusun formula subsidi silang BOS antara siswa mampu dan tidak mampu. Yang terpenting, terbentuk jaringan antarsekolah. Selain sebagai sarana tukar informasi, jaringan itu berfungsi mengangkat persoalan-persoalan dalam hubungan antara sekolah dan pemerintah.
2.5        Kerjasama dan jaringan
  • Kerjasama Penanggulangan Kemiskinan di Garut
Kerjasama Team Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) Nasional dan Kabupaten Garut ditandatangani oleh Deputi Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kantor Menko Kesra Sujana Royat dan Wakil Bupati Diky Candra. Garut merupakan salah-satu dari 15 kabupaten/kota di Indonesia yang akan mendapatkan program “Strategic Alliance for Poverty Alleviation:SAPA” Indonesia tahap pertama, selama rentang waktu Maret 2009-Maret 2011. Program itu, mempromosikan pemenuhan hak-hak dasar kaum miskin dan marginal berupa hak atas pendidikan, kesehatan, pangan dan kesempatan berusaha sebagai “road to end poverty”, agar masyarakat bisa “hirup merenah jeung tumaninah” (hidup mandiri dan nyaman) pada 15 kabupaten/kota di Indonesia, katanya. Gerakan pemberdayaan masyarakat ini, diselenggarakan atas kerjasama pemangku kepentingan yakni pemerintah, TKPK Kab, Nasional serta CSO/LSM dengan empat isu strategis terdiri “pro poor policy and budgeting” berbasis hak dasar kaum miskin dan marginal meliputi pangan, pendidikan, kesehatan, tanah dan ekonomi.
  • Kerjasama Yayasan Alit(Arek Lintang  Surabaya)
Alit menggandeng Pokja PKK untuk mendata kasus-kasus kesehatan si miskin di wilayahnya. Berdasar temuan di lapangan, Alit melakukan dialog dengan dinas sosial, dinas kesehatan, RSD Soewandhi, dan RSUD dr Soetomo. Tidak ketinggalan hearing dengan pihak DPRD kota dan Provinsi. Kemudian hal itu ditindaklanjuti dengan komitmen mereka untuk mengusahakan jaminan pelayanan kesehatan. Inisiatif dan upaya-upaya tersebut tidak sia-sia. Pihak RSUD dr Soetomo mau menyediakan form bagi warga berstatus T4 (tempat tinggal tidak tetap) sekaligus pemberian pelayanan yang layak. Pelayanan, mulai loket pendaftaran, kasir, hingga pelayanan obat, telah dibenahi. Warga dampingan pun mulai berubah. Mereka, yang dulu takut berobat karena pelayanannya diskriminatif, saat ini lebih berani, bahkan bila perlu beradu pendapat tentang hak-hak pelayanan kesehatan mereka. Demikian juga, ketergantungan mereka terhadap pendampingan Alit berangsur menurun.
  • Kerjasama antar anggota TKPK (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan)
Merujuk pada dokumen Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) kebijakan penanggulangan kemiskinan memerlukan kelembagaan          yang kuat baik di tingkat pusat maupun daerah. Salah satu kelembagaan yang melekat pada SNPK adalah kelembagaan Komite Penganggulangan Kemiskinan (KPK) yang diperkuat oleh Keputusan Presiden Nomor 124 Tahun 2001 junto Nomor 34 dan Nomor 8 Tahun 2002.
Fungsi Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) adalah sebagai forum lintas pelaku dalam melakukan koordinasi perencanaan, pembinaan, pemantauan dan pelaporan seluruh upaya penanggulangan kemiskinan. Bahkan untuk lebih mempertajam keberadaan Komite Penanggulangan Kemiskinan maka pada tanggal 10 September 2005 dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK). Keberadaan TKPK diharapkan melanjutkan dan memantapkan hasil-hasil yang telah dicapai oleh KPK.
Anggota TKPK terdiri dari 12 Menteri Negara yang memimpin Departemen, 6 Menteri Negara yang tidak memimpin departemen, 1 pejabat setingkat Menteri dan 3 Kepala Badan yang memiliki bidang tugas yang terkait dengan upaya penanggulangan kemiskinan.
  • Hampir semua program penganggulangan kemiskinan pemerintah yang bersifat proyek skala nasional menggunakan pinjaman luar negeri sebagai sumber pembiayaannya. Pemerintah bekerjasama dengan Bank Dunia, ADB, dan lembaga donor lainnya dalam melaksanakan program-program berskala nasional. Alasan klasik penggunaan utang luar negeri ini adalah keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah di satu sisi, dan masalah kemiskinan dengan dampak luas di sisi lain, yang harus segera ditangani dan membutuhkan biaya tidak sedikit. Padahal bila dirunut ke belakang, masalah keterbatasan anggaran saat ini disebabkan oleh politik utang luar negeri di masa lalu yang mengakibatkan alokasi hampir separuh APBN untuk membayar utang dan bunga yang begitu besar. Prioritas pembayaran bunga utang (dalam jumlah besar) tiap tahun ini lah yang menyebabkan terbatasnya sisa anggaran untuk melakukan pembangunan yang sebenarnya. Oleh karena itu, bila pemerintah masih mengulang kebijakan yang serupa dengan masa lalu, maka persoalan yang sama akan terus berlanjut ke genarasi berikutnya, bahkan mungkin hingga tiba saatnya seluruh APBN tersedot untuk membayar utang dengan bunga yang terus melambung.
  • Jaringan Sosial atau social network merupakan elemen penting dalam pengembangan masyarakat, termasuk dalam perancangan strategi penanggulangan kemiskinan di tingkat lokal. PM sebagai sebuah metode seringkali menekankan pentingnya warga masyarakat dan lembaga-lembaga tingkat lokal sebagai inisiator, kolaborator dan sumber yang dapat dijadikan sarana pencapaian tujuan program. Jaringan diantara lembaga-lembaga masyarakat dapat menggambarkan kondisi dan dinamika kehidupan sosial masyarakat, termasuk tingkat standar hidup, partisipasi sosial, dan pola-pola relasi sosial diantara mereka. Lembaga-lembaga sosial lokal baik yang bersifat tradisional maupun modern yang berada pada sebuah komunitas lokal merupakan kendaraan dengan mana perubahan sosial dan aksi sosial berlangsung (Robert, 1995; Dershem dan Gzirishvili, 1998; Reingold, 1999
  • Pemanfaatan jaringan
Strategi pemanfaatan jaringan, merupakan salah satu upaya yang            ditempuh oleh keluarga fakir miskin dalam mengatasi masalah keluarga. Jaringan yang dimaksud adalah relasi sosial mereka, baik secara informal maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan lingkungan kelembagaan. Pemanfaatan jaringan ini terlihat jelas dalam mengatasi masalah ekonomi dengan pinjam uang kepada tetangga, mengutang ke warung terdekat, memanfaatkan program anti kemiskinan, bahkan ada yang pinjam uang ke rentenir atau bank dan sebagainya. Kaum miskin sering meminta bantuan kepada relasi sosialnya terutama kepada teman sekerja atau tetangga. Kondisi ini menunjukkan, bahwa di antara mereka mempunyai solidaritas yang kuat dan saling percaya. Tampaknya teman merupakan tumpuan untuk memperoleh pertolongan dan sebagai tempat pertama yang akan dituju apabila mereka mengalami masalah. Relasi mereka tidak hanya sebatas di bidang ekonomi, tetapi mencakup bidang-bidang yang lain, misalnya dalam peningkatan mental spiritual. Kegiatan ini  merupakan strategi yang bersifat aktif untuk memperoleh dukungan emosional.
BAB III
METODE PENULISAN
3.1    Metode secara umum (Berdasarkan Pendapat Para ahli/literature).
Metode yang lazim digunakan yaitu metode ilmiah. Metode ilmiah yaitu cara yang ditempuh melalui langkah – langkah ilmiah.
Langkah – langkah ilmiah tersebut antara lain :
  • Merumuskan masalah
  • Melakukan observasi/pengamatan untuk mendapatkan fakta
  • Mengumpulkan data dan menyusun data untuk (organizing)
  • Membuat dugaan sementara/hipothesa
  • Melakukan eksperimen/percobaan untuk menguji kebenaran hipothesa
  • Analisis data dari informasi – informasi yang telah didapat
  • Menarik kesimpulan
3.2    Metode secara khusus (Berdasarkan metode yang penulis gunakan dan berkaitan dengan judul makalah).
Metode – metode yang penulis terapkan sebagai penunjang dalam penyelesaian makalah yang berjudul “Masalah Sosial Sebagai Inspirasi Perubahan (Kasus Kemiskinan) dan Upaya Pemecahannya” ini adalah :
  • Metode Tinjauan Pustaka
Metode tinjauan pustaka yaitu metode yang hasilnya didasarkan atas analisis dari berbagai pustaka yang berkaitan dengan rumusan masalah dengan tujuan menetapkan masalah tersebut. Penalaran pada tinjauan pustaka ini didukung oleh perbendaharaan pustaka yang sesuai.
BAB IV
Upaya Penanganan Masalah Kemiskinan
Adapun upaya-upaya penanganan masalah kemiskinan antara lain :
1. Penyediaan fasilitas umum dan sosial kepada masyarakat kurang mampu. Misalnya, penyediaan beras murah untuk orang miskin (raskin), pelayanan kesehatan gratis di puskesmas, fasilitas air bersih, pendidikan dasar gratis (murah), dan listrik murah.
2. Upaya pemerintah untuk mendorong terbukanya lapangan kerja yang lebih luas. Program raskin banyak disorot karena ada penyimpangan, dan perlu dibenahi pengelolaannya. Masyarakat kini kian kritis sehingga berkurangnya karung timbangan beras sebesar 0,5 kg dan jatah 20 kg dapat menjadi berita nasional yang membuat gerah pengelola raskin. Apakah timbangan Dolog yang rusak atau moral penimbang beras yang bobrok alias korup? Ironisnya, malah ada raskin yang jatuh ke pedagang lalu dioplos dengan beras lain untuk dijual di pasaran. Program pangan murah seperti raskin juga dikenal di negara maju seperti Amerika Serikat. Hanya saja sistem manajemennya berbeda. Di sana ada program foodstamps yakni masyarakat miskin berhak atas cek dengan nilai uang tertentu. Cek ini dapat dibelanjakan. Untuk membeli makanan di supermarket. Tampaknya, program semacam ini lebih tepat sasaran dan memperkecil peluang penyelewengan. Untuk membantu masyarakat miskin, pemerintah hendaknya segera menetapkan pelayanan dasar apa (gratis atau bersubsidi) yang akan diberikan kepada mereka. Di bidang kesehatan, pelayanan dasar harus mencalcup imunisasi dan upaya mengatasi penyakit yang bersifat kronis seperti TBC atau malaria. Pengobatan penyakit kronis yang memerlukan waktu lama, khususnya bagi orang miskin, menghendaki adanya dana bantuan dari pemerintah. Selain itu, pelayanan kesehatan yang bersifat insidentil (di puskesmas) hendaknya juga digratiskan. Di bidang pendidikan bebas SPP pendidikan dasar sembilan tahun hendaknya diberlakukan di seluruh Indonesia. Jangan lagi masyarakat miskin dibebani uang BP3 atau iuran tes hasil belajar.
3.Program penyelamatan
Program penyelamatan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah seperti JPS (di bidang pendidikan, pangan, kesehatan dan sosial) tetap diperlukan untuk mengatasi kemiskinan pada tahap awal,tetapi hal itu hanya bersifat temporer
4. Program penciptaan lapangan kerja
Usaha penciptaan lapangan kerja di segala bidang yang dapat membantu masyarakat keluar dari kemiskinan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi juga perusahaan swasta, organisasi sosial (LSM) dan masyarakat sendiri. Perusahaan misalnya, melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) melakukan mitra usaha dengan pengusaha kecil sehingga dapat berkembang dan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat.
5. Program pemberdayaan
Program pemberdayaan dalam jangka pendek untuk mengatasi krisis, pembangunan prasarana, penanggulangan kemiskinan di perkotaan, program kemandirian ekonomi rakyat, program kredit usaha keluarga sejahtera, dan sebagainya yang selama ini dilakukan pemerintah harus tetap dilanjutkan untuk menanggulangi kemiskinan. Pemberdayaan harus meliputi semua aspek kehidupan masyarakat (ekonomi, sosial, budaya dan politik), karena persoalan kemiskinan adalah persoalan multidimensional. Pemberdayaan yang dimaksud bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhannya tanpa menghambat pemenuhan kebutuhan generasi masa depan, di dalam konteks sosial-budaya, di antara keluarga bangsa dan bangsa-bangsa yang bermartabat, sehingga dapat terlepas dari empat dimensi kemiskinan.
Pemberdayaan ini tidak hanya ditujukan pada faktor fisik yang nampak tetapi juga pada faktor moral yang tidak nampak, seperti modal sosial (hubungan antar masyarakat), modal spiritual intelligence (nilai-nilai agama), pembentukan perilaku yang kesemuanya harus dilakukan sejak usia dini. Sikap keberpihakan pada sesama yang kekurangan yang diwujudkan dalam tindakan nyata adalah buah dari nilai (moral dan agama) yang dianut dan kesetiaan manusia untuk mendengar suara hati yang mampu melihat sesuatu hal dengan mata, hati dan semangat orang lain.
Penanggulangan kemiskinan adalah tanggung jawab semua pihak, pemerintah, organisasi sosial dan swasta, masyarakat dengan peningkatan taraf hidup ekonomi, peningkatan mutu pendidikan serta pemberdayaan masyarakat. Langkah pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan yang selama ini bersifat top-down sudah saatnya dirubah karena terbukti menemui kegagalan dalam implementasinya. Perumusan strategi penanggulangan kemiskinan harus mengakomodasi suara rakyat yang menderita kemiskinan (bottom-up) agar program yang dijalankan tepat sasaran dan berkelanjutan.
  • Jaminan Sosial sebagai Kebijakan untuk Kemiskinan
Jaminan sosial merupakan kebijakan untuk memberikan tunjangan pendapatan (income support) bagi masyarakat karena situasi yang mendesak maupun situasi yang sudah diperkirakan sebelumnya (life cycle); misalnya: tunjangan bagi orang cacat yang diakibatkan oleh kecelakaan sehingga tidak bisa bekerja atau pensiun bagi orang yang telah memasuki usia pensiun. Jaminan sosial mensyaratkan adanya campur tangan yang besar dari negara dalam kebijakan sosial atau kebijakan untuk kemiskinan. Sejarah kebijakan sosial di Inggris melaluiBeveridge Plan (1940’s) pernah mencatat situasi dimana hidup seorang warga negara sejak lahir hingga mati (from cradle to grave) dilindungi oleh sistim jaminan sosial (Rowlingson, 2003).
Dalam perkembangan sejarah, jaminan sosial bertujuan untuk mengatasi kemiskinan, namun itu bukan satu-satunya tujuan (Sainsbury, 1999). Di negara-negara industrial/post industrial seperti Inggris, Amerika, dan Norwegia, jaminan sosial merupakan kebijakan yang tidak hanya penting untuk mengatasi kemiskinan tapi juga untuk mencapai keadilan sosial dan kesetaraan di dalam masyarakat (Alcock, 2006).
Sementara di negara-negara berkembang cakupan pelayanan jaminan sosial masih sangat terbatas. Di Indonesia misalnya, jaminan sosial universal seperti pensiun atau tunjangan kematian oleh negara hanya diberikan kepada pegawai negeri, TNI/Polri, (Ramesh & Asher, 2000). Berbeda dengan negara maju, di negara berkembang tujuan jaminan sosial memang lebih utama untuk mencegah atau mengatasi kemiskinan. Jaminan sosial di negara berkembang lebih banyak dikembangkan secara informal, melalui hubungan kekerabatan maupun klientelistik (Hall & Midgley, 2004; Wood, 2004).
Bentuk jaminan sosial secara garis besar dapat dibagi menjadi: asuransi sosial (social insurance), asistensi sosial (social assistance), dana masa depan (provident fund), asuransi tenaga kerja (employer mandates), dan tunjangan sosial (social allowances) (Hall & Midgley, 2004).
a. Asuransi Sosial (Social Insurance)
Asuransi sosial adalah jaminan sosial yang diberikan kepada anggota masyarakat yang tidak memiliki pendapatan karena pensiun, sakit, cacat, veteran, dan tidak memiliki pekerjaan (pengangguran). Di negara berkembang, pada umumnya,  pengangguran tidak termasuk dalam kategori orang yang berhak mendapatkan asuransi sosial. Dana asuransi sosial diperoleh dari kombinasi atas kontribusi gaji pekerja, kontribusi perusahaan, dan juga kontribusi pemerintah yang diambil dari pajak. Bentuk asuransi sosial diberikan dalam bentuk tunjangan uang, meski di beberapa negara hal ini diberikan dalam bentuk tunjangan kesehatan atau pelayanan sosial (di Indonesia misalnya diberikan dalam bentuk Askes dan Askeskin). Bentuk asuransi sosial yang dikelola oleh negara semakin berkurang dengan privatisasi asuransi sosial.
b. Asistensi Sosial (Social Asisstance)
Asistensi sosial diberikan kepada anggota masyarakat yang tidak memiliki pendapatan minimum atau dikategorikan miskin berdasarkan kategori yang ditetapkan oleh kebijakan (misalnya: garis kemiskinan). Dana untuk asistensi sosial disediakan oleh pemerintah. Asuransi sosial diberikan dalam bentuk tunai maupun barang dan fasilitas (misalnya: kupon belanja, tiket kendaraan). Bentuk asistensi sosial ini semakin banyak digunakan dan dianjurkan oleh institusi keuangan internasional untuk mengatasi kemiskinan di negara berkembang, yaitu melalui bentuk social safety net(Jaring Pengaman Sosial/ JPS), seperti program Direct Cash Transfer (DCT) atau Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bentuk jaminan sosial semacam ini memang ditujukan khusus bagi kelompok masyarakat yang sangat miskin. Di Indonesia ketika terjadi kenaikan harga BBM yang sangat tinggi di tahun 2005, pemerintah menerapkan kebijakan pemberian subsidi BBM berupa bantuan uang tunai bagi keluarga miskin (Hastuti, et.al, 2006); di Brazil, pemerintahan Lula membuat kebijakan tunjangan uang bagi keluarga miskin (Bolsa Familia) (Hall, 2006). Kebijakan semacam ini sangat populer meski kritik terhadap bentuk semacam ini juga muncul, misalnya kebijakan semacam ini dianggap tidak menyelesaikan persoalan kemiskinan yang struktural, tidak menggerakan sektor riil, dan potensial menjadi beban anggaran bagi pemerintah di masa mendatang.
c. Dana masa depan (provident fund)
Dana masa depan adalah jenis asuransi yang disediakan oleh tenaga kerja untuk jaminan diri sang pekerja itu sendiri. Dana ini diberikan bagi pekerja tersebut pada masa pensiun; meninggal, cacat atau sakit sehingga tidak bisa bekerja; atau untuk keperluan lain seperti untuk biaya pendidikan anak. Skema asuransi semacam ini ditentukan oleh jumlah kontribusi (premi) yang diberikan serta kesepakatan jaminan yang disediakan oleh perusahaan asuransi. Jenis jaminan sosial semacam ini semakin berkembang di negara-negara yang program asuransi sosialnya mengalami privatisasi.
d. Jaminan Perusahaan (employer mandates)
Jaminan perusahaan adalah kompensasi yang disediakan oleh perusahaan bagi tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan (baik karena sakit, cacat, meninggal, PHK, juga pensiun maupun cuti). Jaminan semacam ini merupakan kebijakan pemerintah yang diterapkan bagi perusahaan. Ada banyak tantangan untuk bisa membuat perusahaan menyediakan asuransi semacam ini. Salah satu cara untuk mengatasinya adalah dengan menyediakan asuransi privat bagi pekerja atau milik pemerintah, sehingga saat pekerja membutuhkan kompensasi maka dananya akan diambil dari asuransi tersebut. Di Indonesia contoh kewajiban perusahaan adalah menyediakan Jamsostek, meskipun dana Jamsostek sebagian juga merupakan kontribusi dari gaji pekerja.
e. Tunjangan Sosial (Social Allowance)
Tunjangan sosial adalah jaminan sosial yang diberikan kepada orang dengan kebutuhan atau kondisi yang memerlukan pendapatan lebih, misalnya keluarga yang memiliki anak atau hidup dengan orang lansia. Tunjangan ini diberikan oleh pemerintah. Tunjangan sosial berkembang di negara-negara maju. Inggris pada masa pemerintahan partai buruh Tony Blair misalnya mengeluarkan kebijakan khusus untuk mengatasi persoalan anak miskin (child’s poverty) dengan memberikan Child Tax Credit (pemotongan pajak bagi keluarga yang memiliki anak) dan Education Maintenance Allowance (tunjangan pendapatan tambahan bagi pendidikan anak) (Ridge, 2003).
  • Zakat Sebagai Instrument Pengentasan Kemiskinan
Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, dalam diri setiap muslim tertanam kewajiban untuk menegakkan pilar Agama Islam yang lima. Nomor tiga dari lima pilar tersebut setelah Shahadah dan Shalatadalah Zakat. Zakat adalah Satu dari kesekian ajaran sosial Islam yang berorientasi pada kemaslahatan kamanusiaan. Suatu bentuk ibadah Maaliyah Ijtimaiyyah yang memiliki posisi yang sangat stategis dalam program penguatan kaum dhuafa. Menurut Eri Sudewo, (Ketua I BAZNAS) potensi zakat ansich di Indonesia sebesar dalam kisaran antara 1,08-32,4 triliyun pertahun, dengan asumsi terdapat 18 juta Muslim kaya dari 80 juta Muslim yang menunaikan zakat perbulan dengan kisaran 50-150 ribu rupiah.
Dengan potensi ideal 32,4 Triliyun pertahun, tentu saja ini adalah angka yang besar dan belum lagi di tambah dari dana infaq, sadakah dan wakaf. Jika potensi itu berhasil terhimpun, penulis yakin tidak akan ada orang yang meminta-minta di tiap perempatan di jakarta. tidak akan ada orang yang berprofesi menggalang dana umat di angkutan kota dan tidak ada cerita orang mati karena busung lapar. Namun kenyataannya penghimpunan zakat, infaq dan sadakah tidak lebih dari 286.412 .188.273 (Dua ratus delapan puluh enam milyar, sekian) dari total penghimpunan dana yang dilakukan oleh organisasi pengelola zakat di indonesia.(Data Forum Zakat, 2007).
Adanya UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Zakat, ternyata belum bisa memaksa wajib zakat untuk menyalurkan zakatnya. Dan potensi yang 42,3 triliyun masih tinggal diangan-angan para praktisi zakat. Dengan berbagai upaya yang terus dilakukan oleh organisasi pengelola zakat (OPZ) Indonesia yang tidak kurang dari 242 lemabaga baik dari Badan amil zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah maupun lembaga amil zakat (LAZ) yang diinisiasi oleh masyarakat kerja saling bau-membahu untuk menyadarkan sekaligus menumbuhkan kepercayaan masyarakat dalam menunaikan zakat dan menyalurkannya lewat lembaga.
Pada titik jenuh praktisi zakat merasakan keputusasaan dalam mengemban tugas yang sebetulnya adalah kewajiban Pemerintah. Kemiskinan adalah monster yang muncul tidak dengan sendirinya. Kerentaan dan ketidakberdayaan orang miskin berkelanjutan karena kontruksi sosial yang sudah membentuknya. Kontruksi ini adalah akibat dari kebijakan Struktur Ekonomi, Politik dan Budaya yang tidak proporsional dan memihak. Salah satu sindirannya terkait adalah “menggusur satu rumah keluarga miskin adalah biadab. Menggusur 1000 rumah orang miskin real estate hasilnya”.
Mengentaskan satu keluarga miskin adalah mulia, mengentaskan 100 keluarga miskin adalah tugas CSR, mengentaskan sejuta orang miskin itu kebijakan namanya (Politik ZISWAF, 2008), kemiskinan merajalela adalah karena kebijakan. Untuk melawan kemiskinan harus dengan kebijakan. Tanpa kebijakan usaha untuk mengentaskan kemiskinan dari awal sudah ditakdirkan akan gagal. Disinilah letak pentingnya sebuah instutusi pemerintah dalam melawan kemiskinan, karean kebijakan suatu negara terletak pada “kekuasaan” yang sedang memerintah.
BAB V
PENUTUP
5.1        Kesimpulan
Berdasarkan uraian atau penjelasan dari makalah ini  maka dapat diperoleh beberapa kesimpulan yaitu sebagai berikut :
  1. Kemiskinan ditandai oleh kurangnya akses untuk mendapatkan barang, jasa, asset, dan peluang penting yang menjadi hak setiap orang.
  2. Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan, antara lain : faktor individual, faktor structural, faktor keluarga, faktor sub-budaya, faktor agensi.
  3. Penanganan masalah berbasis masyarakat dalam konteks kasus kemiskinan dapat direalisasikan melalui sistem sosial yang responsif, pemanfaatan modal sosial, pemanfaatan institusi sosial dan optimalisasi kontribusi dalam pelayanan sosial.
  4. Mengembangkan sistem sosial yang responsif dapat dilakukan dengan cara memberdayakan masyarakat.
  5. Upaya penanganan masalah kemiskinan dapat dilakukan dengan cara penyediaan fasilitas umum dan sosial kepada masyarakat kurang mampu, program penyelamatan, program penciptaan lapangan kerja, program pemberdayaan, jaminan sosial dan zakat.
5.2        Saran
Melalui makalah, penulis akan memberikan beberapa saran yang berhubungan dengan masalah sosial kasus kemiskinan sebagai berikut :
Upaya penanggulangan kemiskinan hingga saat ini telah banyak dilakukan terutama sejak Indonesia mengalami krisis ekonomi dan moneter semakin
menggema dan dikenal masyarakat luas, bahkan dicari sebagian masyarakat untuk dapat menikmati program anti kemiskinan. Penyelesaian suatu masalah secara lebih strategik biasanya tidak kasatmata dan memerlukan waktu. Dalam kerangka optimalisasi program penanggulangan kemiskinan, perlu mengakomodasikan potensi keluarga miskin yang acapkali terabaikan.
DAFTAR PUSTAKA
www.google.com
http://martindonovan91.ngeblogs.com/2009/12/04/modal-sosial-dalam-bermasyarakat/
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/03/29/memupuk-institusi-lokal-dan-modal-sosial-dalam-kehidupan-bermasyarakat/
http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/2005/gunawan.htm
http://umum.kompasiana.com/2009/04/21/adakah-kontribusi-kredit-mikro-dalam-pemberantasan-kemiskinan/
http://bamboed.wordpress.com/
http://www.asmakmalaikat.com/go/artikel/ekonomi/Eko41.htm
http://fareedridwan.multiply.com/journal/item/6
http://tkpkri.org/berita/berita/menilik-inisiatif-masyarakat-dalam-pengentasan-kemiskinan-%281%29-20080422423.html
http://www.masyarakatmandiri.org/cetak.php?id=122


Tidak ada komentar:

Posting Komentar